REPUBLIKA.CO.ID, ADDIS ABABA — Kelompok Negosiator Afrika (AGN) bersama Aliansi Keadilan Iklim Pan Afrika (PACJA) mendesak adanya perubahan kerangka kerja aksi iklim global. Keduanya menekankan agar aksi iklim lebih berbasis sains serta responsif terhadap kerentanan Afrika yang semakin meningkat akibat perubahan iklim.
Ketua Dewan AGN, Richard Muyungi, mengatakan Afrika tidak dapat sepenuhnya bergantung pada data dan model aksi iklim yang dikembangkan pihak eksternal. Pernyataan itu ia sampaikan dalam Konferensi Pembangunan dan Perubahan Iklim Afrika ke-13 di Addis Ababa, Ethiopia, Sabtu (6/9/2025).
“Sains Afrika harus menjadi pusat perhatian dalam memandu aksi dan adaptasi iklim,” ujar Muyungi, dikutip dari CGTN.
Ia menegaskan, adaptasi membutuhkan dukungan pendanaan iklim. Muyungi menambahkan, Afrika kini memasuki fase baru diplomasi iklim dengan pemahaman lebih mendalam atas kekayaan ekologisnya yang didukung pengetahuan ilmiah.
“Pendanaan iklim bukanlah amal, melainkan hak, kewajiban, dan ukuran kepercayaan,” katanya.
Muyungi mendesak negara-negara kaya mendanai aktivitas adaptasi iklim di Afrika serta negara-negara termiskin di dunia. Sementara itu, Direktur Eksekutif PACJA Mithika Mwenda menyoroti kecilnya kontribusi Afrika terhadap emisi gas rumah kaca, tetapi justru menjadi benua yang paling terdampak.
“Untuk mencapai target iklim 2030, Afrika membutuhkan hampir 3 triliun dolar AS. Namun Afrika hanya menerima 3 hingga 4 persen aliran dana iklim global. Ini tidak bisa diterima,” tegas Mwenda.
Ia juga menilai salah satu kegagalan terbesar aksi iklim global adalah pengecualian populasi Afrika yang paling rentan dari proses pengambilan keputusan. “Kita harus mendorong reformasi struktural dalam arsitektur keuangan internasional dan menuntut akses penuh, tepat waktu, dan adil terhadap Dana Kerugian dan Kerusakan perubahan iklim,” lanjutnya.
Mwenda mencatat, pada 2024 lalu sebanyak 110 juta warga Afrika terdampak bencana iklim, mulai dari banjir di kawasan Sahel, kekeringan di Afrika bagian selatan, hingga gelombang panas ekstrem yang menghancurkan ladang pertanian di utara benua tersebut.
View this post on Instagram