Selasa 30 Sep 2025 15:27 WIB

Indonesia Jadi Poros Utama Komitmen Investasi Hijau China

Laporan internasional ungkap Indonesia sebagai poros utama komitmen hijau China.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Indonesia menempati posisi peringkat pertama dalam daftar negara tujuan investasi hijau China.  (ilustrasi)
Foto: Freepik
Indonesia menempati posisi peringkat pertama dalam daftar negara tujuan investasi hijau China. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia menempati posisi peringkat pertama dalam daftar negara tujuan investasi hijau China. Klaster investasi nikel dan bahan prekursor, serta pusat baru proyek manufaktur panel surya, menjadikan Indonesia poros penting dalam rantai nilai industri hijau global yang tengah dikembangkan China.

Dalam laporan terbarunya China’s Green Leap Outward, inisiatif penelitian dan kolaborasi Net Zero Industry Policy Lab mencatat perusahaan China mengucurkan investasi sedikitnya 227 hingga mendekati 250 miliar dolar AS ke proyek manufaktur hijau di seluruh dunia. Angka ini melampaui nilai investasi Marshall Plan Amerika Serikat sebesar 200 miliar dolar AS (dalam dolar 2024) ketika negara tersebut mendominasi industri serupa.

Baca Juga

ASEAN masih menjadi tuan rumah proyek terbanyak, meski aliran modal ke Timur Tengah dan Afrika Utara melonjak lebih dari 20 persen dari kesepakatan baru. Meski demikian, Indonesia bersama Malaysia, Brasil, dan Hungaria tetap menarik aliran proyek baru secara stabil.

“Perusahaan China tengah melakukan ekspansi. Namun, apakah megaproyek industri hijau ini membawa hasil pembangunan positif atau sekadar menjadikan negara tuan rumah sebagai ‘pulau manufaktur’ sangat bergantung pada pilihan kebijakan domestik,” kata Co-director Net Zero Industrial Policy Lab Johns Hopkins, Tim Sahay, dalam pernyataannya, Senin (29/9/2025).

Sahay mengatakan negara-negara perlu merencanakan, mendanai, dan melaksanakan kebijakan industri hijau serta bernegosiasi keras dengan perusahaan China demi mencapai prioritas pembangunan berkelanjutan. Net Zero Industrial Policy Lab mencatat manufaktur material baterai kini menjadi sektor terbesar dalam belanja teknologi hijau luar negeri China.

Setelah memasukkan proyek 2025, nilai komitmen yang diumumkan melebihi 62 miliar dolar AS, meski jumlah proyeknya hanya separuh dari proyek surya. Investasi ini sangat terpusat di kawasan ASEAN, terutama Indonesia yang memiliki cadangan nikel dan kobalt melimpah.

Sebagai contoh, produsen material baterai berbasis nikel seperti CNGR, Huayou Cobalt, dan GEM memusatkan operasinya di Indonesia. Selain ASEAN yang tetap menjadi kawasan paling aktif, laporan tersebut juga mencatat kemunculan titik panas baru, yakni Indonesia untuk material baterai, Maroko untuk fasilitas katoda dan hidrogen, serta negara-negara Teluk untuk manufaktur modul surya dan elektroliser.

Eropa dan Amerika Serikat masih menarik proyek bernilai tinggi, khususnya di baterai dan surya. Namun, hambatan perdagangan yang meningkat mendorong arus modal bergeser ke Amerika Latin, Asia Tengah, Timur Tengah, dan Afrika Utara.

Laporan tersebut merekomendasikan agar negara-negara memanfaatkan keunggulan sumber daya yang dimilikinya. Negara dengan mineral kritis, energi terbarukan berlimpah, atau pasar konsumen besar dapat menempatkan diri dalam rantai pasok yang berpusat di China—dengan catatan harus memastikan adanya transfer teknologi, perlindungan lingkungan, serta klausul penambahan nilai lokal.

Policy Strategist CERAH, Naomi Devi Larasati, mengatakan China memang pemain besar di sektor energi terbarukan. Kolaborasi dengan China menjadi langkah wajar dalam upaya Indonesia mempercepat transisi energi. Namun, pada saat yang sama, investasi China selama ini di Indonesia tidak sepenuhnya bebas masalah.

Trend Asia mencatat 93 kecelakaan kerja di industri nikel Indonesia pada 2015–2023, termasuk 21 korban jiwa di PT Indonesia Tsingshan Stainless Steel (ITSS). Selain itu, PT Indonesia Huabao Industrial Park (IHI) dilaporkan menyebabkan pencemaran udara akibat PLTU captive yang digunakan, yang mengakibatkan peningkatan kasus ISPA dari 735 kasus pada 2021 menjadi lebih dari 1.100 pada 2023.

“Issue ini perlu ditangani jika ingin terus melanjutkan investasi China di sektor mineral kritis dan baterai nikel di Indonesia. Indonesia perlu memastikan bahwa investasi China benar-benar membawa manfaat nyata bagi masyarakat, khususnya di sekitar lokasi industri, bukan hanya keuntungan ekonomi bagi pemerintah pusat. Hal ini mencakup penciptaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat, alih teknologi dan keterampilan, serta kepatuhan terhadap standar ESG,” kata Naomi.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement