Senin 08 Dec 2025 16:40 WIB

ICEL Desak Pemerintah Perbaiki Tata Kelola Kehutanan di Tengah Lonjakan Bencana

Bencana hidrometeorologis disebut sebagai akumulasi krisis ekologi dan cuaca ekstrem.

Rep: Lintar Satria/ Red: Gita Amanda
Penampakan tumpukan batang kayu gelondongan memenuhi Sungai Garoga di Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). Banjir bandang di Sungai Garoga membawa tumpukan kayu dalam jumlah besar. Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, menjadi salah satu daerah paling parah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebagian besar rumah warga di desa itu luluh lantak dan hanya menyisakan hamparan tanah lumpur setelah diterjang banjir bandang dan longsor.
Foto: Edwin Putranto/Republika
Penampakan tumpukan batang kayu gelondongan memenuhi Sungai Garoga di Tapanuli Selatan, Sabtu (6/12/2025). Banjir bandang di Sungai Garoga membawa tumpukan kayu dalam jumlah besar. Desa Garoga, Kecamatan Batang Toru, menjadi salah satu daerah paling parah terdampak bencana banjir dan longsor yang melanda Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Sebagian besar rumah warga di desa itu luluh lantak dan hanya menyisakan hamparan tanah lumpur setelah diterjang banjir bandang dan longsor.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga think tank Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai bencana hidrometeorologis yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat merupakan akumulasi dari kerusakan hutan di hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) dan cuaca ekstrem. Kondisi ini menegaskan perlunya perbaikan kebijakan dan tata kelola lingkungan jangka panjang.

ICEL mencatat berdasarkan data Global Forest Watch dari 2001 sampai 2024, Aceh kehilangan 320 ribu hektare hutan primer, sementara Sumatera Barat sekitar 320 ribu hektare, dan Sumatera Utara mencapai 390 ribu hektare. Pemanfaatan dan alih fungsi hutan yang tidak mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan memperburuk kerentanan ekosistem.

Baca Juga

Berkurangnya tutupan hutan, khususnya di wilayah hulu, menyebabkan kemampuan tanah menyerap air menurun drastis sehingga hujan lebat langsung berubah menjadi limpasan permukaan yang memicu banjir bandang dan longsor. Kondisi ekosistem yang sudah rentan diterjang hujan berintensitas ekstrem akibat Siklon Tropis Senyar di Aceh dan Sumatera Utara serta hujan sedang hingga lebat di sebagian Sumatera Barat.

ICEL menegaskan kemunculan siklon tropis di sekitar khatulistiwa merupakan fenomena yang tidak umum. Data BMKG menunjukkan meningkatnya frekuensi siklon tropis yang mendekati wilayah Indonesia dalam lima tahun terakhir, menandakan dinamika badai tropis yang semakin dipengaruhi oleh krisis iklim.

Peningkatan suhu bumi akan meningkatkan frekuensi dan intensitas cuaca ekstrem yang pada akhirnya memperbesar risiko bencana hidrometeorologis. Oleh karena itu, kemampuan mitigasi dan adaptasi Indonesia perlu diperkuat secara signifikan.

“Fenomena banjir dan longsor di Sumatera membutuhkan respons yang komprehensif dari pemerintah melalui percepatan rehabilitasi hutan dan lahan di kawasan kritis, evaluasi menyeluruh terhadap perizinan di sektor kehutanan, perkebunan, dan pertambangan, serta penegakan hukum terhadap pelaku perusakan. Moratorium perizinan baru pun menjadi langkah penting untuk menjaga hutan alam yang tersisa,” kata Kepala Divisi Hutan dan Keanekaragaman Hayati ICEL, Difa Shafira, dalam pernyataannya, Senin (8/12/2025).

Difa juga mendesak pemerintah melakukan peninjauan rencana tata ruang wilayah untuk memastikan kesesuaian dengan daya dukung dan daya tampung serta pengawasan pemanfaatan ruang. Pemerintah perlu melakukan serangkaian langkah korektif perbaikan tata kelola hutan untuk meningkatkan resiliensi terhadap cuaca ekstrem akibat krisis iklim.

Terkait persoalan ini, ICEL mendesak pemerintah mengambil langkah korektif melalui evaluasi total terhadap perizinan di sektor kehutanan, perkebunan skala besar, pertambangan, dan RTRW berbasis daya dukung lingkungan. Selain itu, izin yang terbukti merusak wajib dicabut.

Bersamaan dengan itu, ICEL meminta pemerintah menerapkan moratorium perizinan baru untuk mencegah penambahan beban ekologis dan risiko bencana, serta memperkuat penegakan hukum yang fokus pada pemulihan ekosistem dan penindakan praktik ilegal. Tidak hanya itu, ICEL juga mendorong perbaikan tata kelola kehutanan yang menyeluruh serta penyusunan kebijakan mitigasi iklim berbasis data yang memprioritaskan perlindungan bagi kelompok masyarakat paling rentan.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by ESG Now (@esg.now)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement