Rabu 17 Dec 2025 09:49 WIB

Menuntut Tanggung Jawab Korporasi atas Kerusakan Lingkungan di Sumut

Temuan awal KLH menunjukkan ada celah serius dalam kepatuhan korporasi.

Rep: Lintar Satria Zulfikar/ Red: Satria K Yudha
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di pemukiman warga dan sungai pasca banjir bandang pada Selasa (25/11).
Foto: ANTARA FOTO/Yudi Manar
Warga mengamati sampah kayu gelondongan pasca banjir bandang di Desa Aek Garoga, Kecamatan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera Utara, Sabtu (29/11/2025). Sampah kayu gelondongan tersebut menumpuk di pemukiman warga dan sungai pasca banjir bandang pada Selasa (25/11).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) menilai kegagalan korporasi mengendalikan erosi dan air larian tidak bisa lagi dipandang sebagai persoalan teknis. Dalam kerangka hukum lingkungan, kelalaian tersebut berpotensi menjadi pelanggaran serius karena kewajiban pengendalian sudah melekat dalam persetujuan lingkungan, termasuk dokumen AMDAL.

Pernyataan ICEL tersebut menyoroti aktivitas usaha yang diduga menjadi pemicu banjir dan longsor di Sumatera Utara. Pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup/Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) sebelumnya memanggil delapan korporasi yang diduga lalai mengendalikan erosi dan air larian hingga memicu sedimentasi dan pencemaran di DAS Batang Toru dan Garoga.

Baca Juga

Kepala Divisi Kehutanan dan Keanekaragaman Hayati ICEL Difa Shafira menegaskan, kewajiban lingkungan korporasi tidak hanya diatur dalam peraturan perundang-undangan, tetapi juga tertuang secara rinci dalam Rencana Pengelolaan Lingkungan dan Rencana Pemantauan Lingkungan (RKL-RPL).

“Tidak dilaksanakannya kewajiban-kewajiban dalam RKL-RPL merupakan bentuk pelanggaran hukum,” kata Difa kepada Republika, Selasa (16/12/2025).

Temuan awal KLH yang menunjukkan kelalaian pengendalian erosi dan air larian, memperlihatkan celah serius dalam kepatuhan korporasi terhadap dokumen lingkungan. Dalam konteks bencana hidrometeorologi yang makin sering terjadi, kegagalan tersebut berisiko memperbesar dampak kerusakan lingkungan sekaligus meningkatkan kerugian sosial dan ekonomi.

ICEL juga menyoroti maraknya praktik “cuci kayu” yang dinilai memperburuk tata kelola kehutanan. Difa menyebut praktik tersebut bertujuan memanipulasi dokumen agar kayu hasil pembalakan ilegal masuk ke pasar resmi, meskipun Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 telah mengatur sanksi pidana secara tegas.

Menurut Difa, indikasi praktik pencucian kayu yang dilakukan secara terorganisir mencerminkan lemahnya pengawasan kehutanan di lapangan. Karena itu, penguatan pengawasan di titik rawan serta pembongkaran jaringan kejahatan kehutanan menjadi kunci untuk mencegah kerusakan lingkungan berulang.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement