Selasa 10 Oct 2023 18:58 WIB

Cuaca Panas Ekstrem yang Terjadi di Dunia Saat Ini Ternyata di Luar Prediksi Ilmuwan

Ilmuwan menyatakan perubahan iklim bukanlah sesuatu yang harus terjadi saat ini.

Rep: Noer Qomariah Kusumawardhani/ Red: Nora Azizah
Cuaca panas yang terjadi pada September 2023 menjadi bulan terpanas di sepanjang sejarah.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Cuaca panas yang terjadi pada September 2023 menjadi bulan terpanas di sepanjang sejarah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemantau iklim Uni Eropa melaporkan bahwa pada September lalu merupakan bulan September terpanas yang pernah tercatat sepanjang sejarah. Dilansir dari Sciencealert, Selasa (10/10/2023), sebagian besar wilayah dunia dilanda cuaca hangat yang tidak sesuai musim.

Copernicus Climate Change Service (C3S) dalam sebuah laporan melaporkan, suhu udara permukaan rata-rata pada bulan September sebesar 16,38 derajat Celsius adalah 0,93 derajat Celsius di atas rata-rata bulan tersebut pada tahun 1991-2020 dan 0,5 derajat Celsius di atas rekor sebelumnya pada tahun 2020. Rekor suhu biasanya dipecahkan dengan margin yang jauh lebih kecil, mendekati sepersepuluh derajat. 

Baca Juga

Laporan tersebut mengatakan bahwa angka tersebut merupakan bulan terpanas sejak tahun 1940 dengan suhu 1,75 derajat Celsius lebih panas dibandingkan rata-rata bulan September pada periode pra-industri tahun 1850-1900. 

“Kita telah melalui bulan September yang paling menakjubkan dari sudut pandang iklim. Ini sungguh di luar dugaan,” kata Direktur C3S Carlo Buontempo, kepada AFP. 

Menurut dia, perubahan iklim bukanlah sesuatu yang akan terjadi 10 tahun dari sekarang. 

“Perubahan iklim sudah terjadi,” ujarnya. 

 

Baca juga:

Ditanya Andai Dapat Tawaran Latih Juventus, Pep Guardiola Jawab Begini

Dosen Luar Biasa Unair: Strategi Baru Hamas Tunjukkan Israel Bisa Dikalahkan

 

Sementara itu, Wakil Direktur C3S Samantha Burgess menambahkan suhu bulan September yang belum pernah terjadi sebelumnya telah memecahkan rekor dengan jumlah yang luar biasa. Suhu rata-rata global pada bulan Januari hingga September adalah 1,4 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan tahun 1850-1900. 

C3S melaporkan bahwa target pemanasan 1,5 derajat Celsius tidak sesuai di dalam Perjanjian Paris tahun 2015. Ambang batas tersebut merupakan target yang lebih ambisius dari perjanjian tersebut dan dipandang penting untuk menghindari konsekuensi paling buruk dari perubahan iklim. 

Suhu rata-rata global pada Januari-September 0,05 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan periode sembilan bulan yang sama pada tahun 2016. Ini menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat sejauh ini. 

Selain itu, fenomena El Nino menjadikan tahun 2023 menjadi tahun terpanas yang pernah tercatat dalam tiga bulan ke depan. Para ilmuwan memperkirakan dampak terburuk El Nino saat ini akan dirasakan pada akhir tahun 2023 dan hingga tahun depan. Meskipun El Nino berperan dalam pemanasan, Buontempo mengatakan kepada AFP tidak ada keraguan bahwa perubahan iklim telah memperburuk keadaan.

Eropa mengalami rekor terpanas pada bulan September dengan suhu 2,51 derajat Celsius lebih tinggi dibandingkan rata-rata pada 1991-2020, dengan banyak negara memecahkan rekor suhu nasional pada bulan tersebut. Suhu permukaan laut rata-rata pada bulan tersebut tidak termasuk wilayah kutub juga mencapai suhu tertinggi sepanjang masa pada bulan September, yaitu 20,92 derajat Celsius. 

Menurut ilmuwan, lautan telah menyerap 90 persen kelebihan panas yang dihasilkan oleh aktivitas manusia sejak awal era industri. Lautan yang lebih hangat menjadi kurang mampu menyerap karbon dioksida sehingga memperburuk lingkaran setan pemanasan global dan mengganggu ekosistem yang rapuh. 

Doug McNeall, ilmuwan iklim dan ahli statistik di Hadley Centre Kantor Meteorologi Inggris Raya (UK) mengatakan, peristiwa semacam ini sejalan dengan proyeksi yang dibuat selama beberapa dekade terakhir. 

“Sungguh mengejutkan ketika Anda melihat rekor-rekor ini dipecahkan, dan dampaknya terhadap kehidupan manusia dan ekosistem,” katanya, kepada AFP. 

Untuk itu, para pemimpin dunia akan berkumpul di Dubai mulai 30 November untuk menghadiri perundingan iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dikenal sebagai COP28 seiring dengan semakin cepatnya dampak pemanasan global. Topik utamanya adalah menemukan konsensus mengenai pengurangan emisi gas rumah kaca yang menyebabkan perubahan iklim, pendanaan untuk adaptasi dan mitigasi serta peningkatan energi terbarukan. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement