Jumat 10 Nov 2023 06:10 WIB

Tubuh Manusia akan Berevolusi Akibat Perubahan Iklim?

Indeks panas bumi tinggi akibat perubahan iklim bisa berakibat fatal bagi manusia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Perubahan iklim telah menyebabkan suhu panas menjadi lebih ekstrem dari tahun ke tahun.
Foto: www.freepik.com
Perubahan iklim telah menyebabkan suhu panas menjadi lebih ekstrem dari tahun ke tahun.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu panas pada 2023 telah menembus rekor yang belum terjadi sepanjang sejarah pencatatan. Perubahan iklim telah menyebabkan suhu panas menjadi lebih ekstrem dari tahun ke tahun, dan daftar korban pun semakin banyak.

Kembali ke periode antara 1980 dan 1986, hampir 7.000 kasus sengatan suhu panas dan 40 ribu kasus kelelahan akibat panas terjadi selama ibadah haji di Mekah. “Pada tahun 1986 saja, ada ratusan kematian," kenang Abderrezak Bouchama, seorang dokter perawatan darurat yang kala itu bertugas di Mekah.

Baca Juga

Para peneliti memprediksi perubahan iklim bisa mengulang fenomena serupa di masa depan. Massachusetts Institute of Technology (MIT) memperkirakan pada akhir abad ini, di India saja, sekitar 2 persen populasi akan terpapar pada suhu WBT 35 derajat Celcius.

Suhu bola basah (WBT) mengukur kelembaban dan indeks panas tinggi yang dapat berakibat fatal bagi manusia. Pada suhu WBT 35 derajat Celcius, manusia akan meninggal dalam beberapa jam, karena kita tidak mungkin lagi untuk mendinginkan tubuh melalui keringat.

"Ketika hal ini terjadi, sistem evapotranspirasi yang mengatur suhu internal kita melalui penguapan keringat, tidak dapat berfungsi lagi," kata antropolog dan ahli biologi Alain Froment seperti dilansir World Crunch, Kamis (9/11/2023).

Direktur Laboratorium Panas dan Kesehatan di Fakultas Kedokteran University of Sydney, Ollie Jay, menjelaskan bahwa evapotranspirasi dan vasodilatasi memberikan tekanan besar pada jantung, yang harus mengirim lebih banyak darah ke kulit. Pada kesempatan yang sama, ginjal juga harus bekerja dengan kapasitas penuh.

Dalam cuaca panas yang ekstrem, orang-orang yang rentan berada dalam risiko. Selama gelombang panas tahun 2003, 15 ribu orang meninggal di Prancis, meskipun suhu udara tidak melebihi 28 derajat Celcius WBT.

“Pekerjaan juga melambat akibat gelombang panas. Stres akibat panas merugikan Australia sebesar 6,9 miliar dolar Australia per tahun dalam bentuk hilangnya produktivitas," kata Ollie Jay.

Penurunan kinerja ini bisa sangat dramatis bagi individu yang dibayar per-project. Pasalnya, jika mereka tidak ingin gajinya berkurang, mereka harus bekerja lebih lama, dalam kondisi yang sulit, sampai tubuh mereka beradaptasi. Orang normal membutuhkan waktu sekitar 10 hari untuk mengoptimalkan mekanisme kardiovaskular dan termoregulasi mereka.

Tahun lalu, Ollie Jay juga meluncurkan sebuah proyek penelitian tentang lingkungan kerja para buruh tekstil di Bangladesh. Sensor mencatat kualitas udara di salah satu pabrik mereka. Sementara itu, Jay mereproduksi kondisi yang sama di laboratorium iklim di Sydney, menguji solusi yang mudah diterapkan yaitu hidrasi, ventilasi, atap putih atau vegetasi.

Seorang peneliti kesehatan dan lingkungan di ISGlobal, Guillaume Chevance, menambahkan bahwa setiap negara harus melakukan adaptasi terhadap suhu panas. Misalnya dengan mengubah style pakaian, menggeser jam kerja, mengisolasi bangunan, atau menciptakan oasis sejuk di kota.

Lantas apakah ada gen tertentu yang bisa beradaptasi dengan sangat baik terhadap suhu panas? Ada, menurut Alain Froment. Suku Shilluk dan Dinka merupakan suku di Afrika yang sudah terbukti bisa beradaptasi dengan suhu panas di sana. Secara genetik, mereka memiliki kaki yang panjang, tubuh yang kurus, dan batang tubuh (trunkus) yang pendek, sehingga mendukung evapotranspirasi dan dengan demikian cocok dengan iklim panas Sudan Selatan.

Selain itu, sejak tahun 1790-an, orang Eropa juga tampaknya telah beradaptasi dengan suhu rata-rata yang lebih tinggi, demikian menurut penelitian yang dilakukan oleh Institut Nasional Penelitian Kesehatan dan Medis (Inserm). Akan tetapi, para ahli belum mengetahui dengan jelas terkait asal-usul perubahan ini.

“Bisa jadi karena faktor budaya misalnya, penggunaan AC yang lebih banyak atau faktor fisiologis. Bagaimanapun, kehidupan modern dan pertukaran populasi tidak mendukung seleksi genetik: seleksi genetik lebih efektif di dalam populasi yang terisolasi," kata Hein Daanen, Profesor Fisiologi di Vrije University Amsterdam.

Namun, ada satu harapan, yakni epigenetik. Sementara genetika mempelajari gen, epigenetika berkaitan dengan lapisan informasi tambahan yang memutuskan apakah akan mengaktifkan gen tertentu atau tidak. DNA itu sendiri tetap tidak berubah, tetapi mekanisme epigenetik yang memodifikasi ekspresi gen tetap dapat ditularkan dari generasi ke generasi.

“Peran epigenetik dalam adaptasi panas telah ditunjukkan pada tanaman dan model hewan tertentu. Di masa depan, kita mungkin bisa mengintervensi tubuh manusia untuk memodifikasi mekanisme ini dari luar,” kata Abderrezak Bouchama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement