REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dengan meningkatnya dampak perubahan iklim di seluruh dunia, upaya untuk mengadaptasi infrastruktur dan kebiasaan manusia tidak bisa ditawar-tawar lagi. Namun, ada yang namanya maladaptasi. Seperti halnya obat yang memiliki efek samping, beberapa adaptasi ternyata lebih banyak merugikan daripada menguntungkan, atau setidaknya cukup merugikan sehingga efek negatifnya harus ditimbang dengan efek positifnya.
Sebuah makalah yang diterbitkan di jurnal Nature Climate Change membahas masalah ini dan menetapkan sebuah pendekatan untuk menilai kegiatan adaptasi. Salah satu kesimpulannya adalah proyek-proyek infrastruktur secara umum memiliki risiko maladaptasi yang paling besar, sementara adaptasi yang melibatkan perubahan pola makan dan restorasi lahan memiliki risiko yang paling kecil.
Peneliti mencontohkan proyek infrastruktur seperti seawall dan sistem irigasi. Menurut mereka, struktur seawall (tanggul pelindung erosi Pantai) hanya akan menjadi solusi sementara. Begitupun sistem irigasi di daerah miskin yang dilanda kekeringan mungkin hanya akan menguntungkan para petani yang cukup kaya untuk membelinya.
Itu kemudian dapat menyebabkan konsentrasi lahan di tangan segelintir orang, atau membuat petani meninggalkan tanaman subsisten dan mengkhususkan diri pada satu jenis tanaman yang menghasilkan uang, sehingga mengurangi daya tahan mereka terhadap guncangan iklim di masa depan.
Sementara itu, sebuah laporan tahun 2022 tentang dampak dan adaptasi dari Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menentang istilah maladaptasi. Mereka lebih memilih istilah "kontinum", yang menunjukkan bahwa tidak ada tindakan yang sepenuhnya baik atau buruk. Penulis utama studi ini, Diana Reckien dari Netherlands’ University of Twente, dan rekan penulis Ben Orlove, membuat ukuran untuk menempatkan kegiatan adaptasi pada kontinum.
Mereka meneliti enam faktor. Tiga di antaranya adalah fitur system-level: apakah suatu kegiatan akan mempengaruhi ekosistem secara positif atau negatif; apakah kegiatan tersebut akan meningkatkan atau menurunkan konsentrasi gas rumah kaca; dan apakah kegiatan tersebut berpotensi atau tidak berpotensi untuk mengarah pada perubahan transformasional pada sistem sosial.
Tiga lainnya adalah pertimbangan terkait kesetaraan: apakah adaptasi akan menguntungkan dan tidak memperburuk situasi kelompok-kelompok yang terpinggirkan -penduduk berpenghasilan rendah, perempuan dan anak, serta kelompok etnis yang terpinggirkan.
Untuk memberikan beberapa bukti empiris pada konsep dan metodologi ini, peneliti memilih delapan sektor yang akan menghadapi dampak iklim utama, termasuk wilayah pesisir, kesehatan manusia, dan ketahanan pangan. Studi ini menganalisis tiga respons adaptasi yang telah ditetapkan untuk masing-masing sektor, dengan total 24 respons.
Potensi terkuat untuk adaptasi yang berhasil ditemukan adalah terkait sistem sosial dan perilaku. Hal ini mencakup perubahan pola makan dan pengurangan limbah makanan, serta peningkatan pengaman sosial. Selain itu, ada juga opsi yang berpusat pada alam dan ekosistem, seperti praktik pertanian dan perikanan yang lebih baik, serta restorasi area alami.
Infrastruktur memiliki risiko maladaptasi yang lebih tinggi, seperti banjir yang tidak diinginkan. Dalam beberapa kasus, program asuransi juga dapat menciptakan hasil negatif ketika program tersebut mengesampingkan kelompok-kelompok yang terpinggirkan atau membatasi potensi transformasi sosial dengan memperkuat status quo.
“Kami berharap kerangka kerja ini akan berkontribusi pada inventarisasi global mengenai kemajuan aksi iklim di COP28 tahun ini. Semoga kerangka kerja ini dapat berkontribusi pada perencanaan adaptasi yang dilakukan di tingkat lokal, nasional, dan internasional di seluruh dunia,” kata Ben Orlove seperti dilansir Columbia Edu, Kamis (9/11/2023).