REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Suhu panas yang ekstrem telah merusak hasil panen, dan sebuah laporan terbaru berhasil mengukur seberapa besar dampak pemanasan tersebut terhadap keamanan finansial petani. Untuk setiap kenaikan suhu sebesar 1 derajat Celcius, hasil panen tanaman pangan utama seperti jagung, kedelai dan gandum turun 16-20 persen, dan pendapatan kotor pertanian turun 7 persen sementara pendapatan bersih pertanian anjlok 66 persen.
Temuan-temuan tersebut dilaporkan dalam sebuah ringkasan kebijakan yang didasarkan pada analisis data selama 39 tahun dari hampir 7.000 pertanian di Kansas. Laporan singkat ini merupakan hasil kolaborasi antara Cornell Atkinson Center for Sustainability, Environmental Defense Fund (EDF), dan Kansas State University.
Penulis utama laporan ini yaitu Ariel Ortiz-Bobea, profesor di Charles H Dyson School of Applied Economics and Management dan dosen di Cornell Atkinson.
“Selama beberapa dekade, sektor pertanian AS telah mengalami pertumbuhan produktivitas sebesar 1,5 persen setiap tahun. Tapi secara global, kami menemukan bahwa perubahan iklim telah memperlambat pertumbuhan produktivitas. Produktivitas pertanian global saat ini 20 persen lebih rendah daripada yang seharusnya terjadi tanpa adanya perubahan iklim antropogenik,” kata Ortiz-Bobea.
Ia menekankan bahwa praktik dan program manajemen risiko memainkan peran penting dalam mengurangi dampak panas ekstrem terhadap pendapatan bersih pertanian. Asuransi tanaman, pembayaran dari pemerintah, penyesuaian jumlah tanaman yang disimpan atau dijual oleh petani, dan akses terhadap irigasi, membantu mengurangi dampak panas ekstrem terhadap hasil keuangan pertanian.
Asuransi tanaman adalah penyangga yang paling signifikan, membantu petani memulihkan 51 persen dari kerugian bersih.
"Petani memiliki cara yang berbeda untuk mengatasi cuaca ekstrem. Harga dapat merespons guncangan, petani dapat mengubah inventaris, tetapi pada umumnya sebagian besar perataan pendapatan terkait dengan program pemerintah, dan hal ini sangat mencolok," ujar Ortiz-Bobea seperti dilansir Phys, Selasa (23/1/2024).
Temuan ini memiliki implikasi untuk pertanian di seluruh AS. Menurut Ortiz-Bobea, Kansas dipilih sebagai contoh karena produksi tanaman pokoknya yang tinggi seperti gandum, jagung, dan kedelai. Selain itu, Kansas juga memiliki wilayah yang lebih kering dengan kondisi pertumbuhan yang lebih mirip dengan negara bagian Barat dan wilayah yang lebih basah seperti Midwest.
Ortiz-Bobea dan rekan-rekan mendefinisikan panas ekstrem sebagai suhu yang lebih tinggi dari 32 derajat Celcius, di mana penelitian mereka menunjukkan bahwa hasil panen mulai menurun pada suhu tersebut. Dari tahun 1981 hingga 1990, Kansas mengalami 54 hari dengan suhu panas ekstrem, dari tahun 2011 hingga 2020, ada 57 hari.
Model iklim memproyeksikan peningkatan 58 persen pada hari-hari dengan panas ekstrem pada tahun 2030 dan peningkatan 96 persen pada tahun 2050 di Kansas, relatif terhadap suhu antara tahun 1981 dan 2020. Hari-hari yang lebih panas berarti musim tanam yang lebih panjang, dan para penulis peneliti mempelajari apakah musim tanam yang lebih panjang tersebut dapat mengkompensasi kerugian yang disebabkan oleh panas yang ekstrem.
Berdasarkan data historis, mereka menemukan bahwa peningkatan suhu tampaknya memiliki dampak negatif yang lebih besar pada kondisi pertumbuhan karena suhu ekstrem daripada dampak positif melalui perpanjangan musim tanam.
Untuk meningkatkan ketahanan pertanian terhadap perubahan iklim, studi ini merekomendasikan lembaga pemberi pinjaman pertanian untuk mendukung petani sehingga merek bisa beradaptasi dengan perubahan iklim di lahan pertanian, serta mengelola risiko terhadap portofolio pinjaman pemberi pinjaman.
Departemen Pertanian AS, universitas-universitas penerima hibah lahan, dan sektor swasta juga harus meningkatkan penelitian dan meneliti mengenai solusi ketahanan iklim untuk mendukung adaptasi petani terhadap perubahan iklim.
"Menerapkan praktik-praktik yang membangun ketahanan terhadap perubahan iklim dapat menimbulkan risiko jangka pendek bagi para petani yang perlu ditangani oleh para pemberi pinjaman, perusahaan asuransi, dan program-program federal," ujar Vincent Gauthier, manajer climate-smart agriculture di EDF.
“Mengembangkan solusi keuangan dan manajemen risiko yang secara proaktif mendukung petani dalam transisi menuju sistem produksi yang tahan terhadap perubahan iklim sangat penting untuk mengurangi risiko iklim bagi petani sambil mempertahankan produksi pertanian yang kuat,” tambah dia.