Selasa 23 Jan 2024 15:15 WIB

Virus 'Zombie' di Lapisan Es Arktik Lepas karena Perubahan Iklim, Apa Maksudnya?

Virus 'Zombie' dianggap bisa menjadi pandemi baru dampak dari perubahan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Virus zombie purba yang membeku di lapisan es Arktik dapat memicu pandemi baru jika suatu saat mencair dan dilepaskan oleh perubahan iklim.
Foto: www.pixabay.com
Virus zombie purba yang membeku di lapisan es Arktik dapat memicu pandemi baru jika suatu saat mencair dan dilepaskan oleh perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Virus zombie purba yang membeku di lapisan es Arktik dapat memicu pandemi baru jika suatu saat mencair dan dilepaskan oleh perubahan iklim, demikian peringatan para ilmuwan.

Pemanasan global memungkinkan peningkatan aktivitas manusia di bagian paling utara Bumi, karena mencairnya lapisan es laut membuka peluang pelayaran dan industri, termasuk penambangan ke inti lapisan es yang mencakup seperlima belahan bumi utara, terutama di Kanada, Siberia, dan Alaska.

Baca Juga

Sebagai bentuk antisipasi, para ilmuwan kini berencana membangun jaringan pemantauan Arktik untuk mewaspadai kasus-kasus awal penyakit yang dipicu oleh virus purba, juga dikenal sebagai mikroba Methusela atau virus zombi.

Virus purba telah ditemukan di permafrost Siberia, termasuk satu sampel yang berusia 48.500 tahun. Sebuah tim yang dipimpin oleh ahli genetika Jean-Michel Claverie telah menghidupkan kembali beberapa virus semacam itu, yang hanya mampu menginfeksi organisme sel tunggal. Namun, para ilmuwan khawatir virus yang mampu menginfeksi manusia kemungkinan besar juga bersembunyi di lapisan es.

"Kami melihat banyak virus lain. Jika virus amuba masih hidup, tidak ada alasan mengapa virus-virus lain tidak akan tetap hidup, dan mampu menginfeksi inangnya sendiri,” kata Profesor Claverie seperti dilansir Independent, Selasa (23/1/2024).

Sebagai hasilnya, Prof Claverie termasuk di antara para ilmuwan yang bekerja sama dengan jaringan University of the Arctic dalam rencana untuk membangun fasilitas karantina dan menyediakan keahlian medis. Harapannya, fasilitas tersebut dapat menunjukkan dan mengatasi kasus-kasus awal sebelum mereka meninggalkan wilayah tersebut.

"Saat ini, analisis ancaman pandemi berfokus pada penyakit yang mungkin muncul di wilayah selatan dan kemudian menyebar ke utara. Sebaliknya, hanya sedikit perhatian yang diberikan pada wabah yang mungkin muncul di ujung utara dan kemudian menyebar ke selatan - dan itu adalah sebuah kekeliruan, menurut saya,” kata Prof Claverie.

"Ada virus di sana yang berpotensi menginfeksi manusia dan memicu wabah penyakit baru. Di antara jejak genom patogen manusia yang telah diidentifikasi oleh tim di lapisan es Siberia adalah virus cacar dan virus herpes,” tambah dia.

Dengan perkiraan yang menunjukkan bahwa Laut Arktik akan bebas dari es paling cepat pada tahun 2040 karena kerusakan iklim, prospek peningkatan aktivitas manusia di Arktik -dan bukan mencairnya lapisan es- adalah yang paling mengkhawatirkan bagi Prof Claverie.

"Operasi penambangan besar-besaran sedang direncanakan, dan akan membuat lubang besar di lapisan es yang dalam untuk mengekstraksi minyak dan bijih. Operasi-operasi tersebut akan melepaskan sejumlah besar patogen yang masih berkembang di sana. Para penambang akan masuk dan menghirup virus-virus tersebut. Efeknya bisa menjadi bencana,” kata Prof Claverie.

Prof Claverie menambahkan bahwa sistem kekebalan tubuh manusia modern mungkin tidak pernah bersentuhan dengan beberapa mikroba tersebut, dan itu adalah kekhawatiran lain. Skenario virus yang tidak dikenal, yang pernah menginfeksi manusia purba Neanderthal kembali menyerang, meskipun kecil kemungkinannya, telah menjadi kemungkinan yang nyata.

Ahli virologi, Prof Marion Koopmans, mengatakan bahwa dalam sejarah wabah epidemi, salah satu pendorong utamanya adalah perubahan penggunaan lahan. Misalnya, virus nipah disebarkan oleh kelelawar buah yang diusir dari habitatnya oleh manusia. Demikian pula, cacar monyet telah dikaitkan dengan penyebaran urbanisasi di Afrika.

"Dan itulah yang akan kita saksikan di Kutub Utara: perubahan total dalam penggunaan lahan, dan itu bisa berbahaya, seperti yang telah kita lihat di tempat lain,” kata Koopmans.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement