Sabtu 02 Mar 2024 22:00 WIB

Pasokan Makanan Laut Menurun Akibat Krisis Iklim

Kurangnya asupan makanan dari laut berdampak pada kesehatan jantung.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Berkurangnya asupan makanan laut akibat perubahan iklim kemungkinan akan berdampak negatif terhadap kesehatan jantung masyarakat.
Foto: www.freepik.com
Berkurangnya asupan makanan laut akibat perubahan iklim kemungkinan akan berdampak negatif terhadap kesehatan jantung masyarakat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Selama 25 tahun ke depan, berkurangnya asupan makanan laut akibat perubahan iklim kemungkinan akan berdampak negatif terhadap kesehatan jantung masyarakat. Hal ini merujuk pada studi yang melibatkan First Nations atau masyarakat adat yang dominan di pantai Pasifik Kanada, dan dipublikasikan di jurnal Facets.

Menurut pemodelan berdasarkan proyeksi iklim, pengurangan konsumsi seafood pada tahun 2050 diperkirakan akan meningkatkan risiko serangan jantung pada populasi ini sebesar 1,9 hingga 2,6 persen pada pria dan 1,3 hingga 1,8 persen pada wanita. Untuk individu berusia 50 tahun ke atas, peningkatannya berkisar antara 4,5 dan 6,5 persen.

Baca Juga

Angka-angka ini berasal dari penelitian terbaru yang menggunakan data dari “First Nations, Food Nutrition and Environment Study” (FNFNES), sebuah proyek gabungan dari Majelis First Nations, Universite de Montreal dan University of Ottawa.

Di British Columbia, makanan tradisional masyarakat pesisir First Nations mencakup berbagai macam makanan laut seperti ikan, kerang, rumput laut, dan mamalia laut. Sumber daya ini merupakan sumber penting protein, mikronutrien dan asam lemak tak jenuh ganda omega-3, serta rendah lemak.

Namun karena krisis iklim, makanan laut menjadi semakin langka. Faktanya, separuh responden yang disurvei dalam studi tersebut mengatakan bahwa jumlah makanan laut sudah tidak mencukupi. Sebagai contoh, berbagai spesies salmon termasuk ikan yang paling sensitif terhadap perubahan iklim, dan merupakan sumber utama asam lemak bagi First Nations.

“Dari sudut pandang epidemiologi, kita tahu bahwa asam lemak omega-3 berhubungan dengan penurunan penyakit jantung. Tapi, sumber lemak baik ini semakin berkurang dari tahun ke tahun, dan pilihan lainnya sering kali memiliki kualitas gizi yang buruk seperti makanan ultra proses,” kata salah satu peneliti sekaligus profesor nutrisi di Universite de Montreal, Malek Batal, seperti dilansir Phys, Sabtu (2/3/2024).

Selain kurangnya alternatif, masyarakat First Nations harus menghadapi kerawanan pangan yang parah yang mempengaruhi 65 persen populasi, gaya hidup yang pasif, dan diskriminasi.

“Semua faktor ini meningkatkan risiko penyakit kardiovaskular,” kata Batal, pemegang Canada Research Chair in Nutrition and Health Inequalities.

Studi ini menyoroti kebutuhan mendesak akan strategi untuk meningkatkan akses terhadap makanan laut bagi negara-negara pesisir. Selain meningkatkan nutrisi dan kesehatan jantung, jelas Batal, makanan laut memungkinkan masyarakat untuk mengembangkan ikatan budaya yang kuat, bersosialisasi dan aktif, yang juga meningkatkan kesehatan mental.

Perubahan iklim bukanlah satu-satunya hambatan terhadap konsumsi makanan laut. Kurangnya waktu, peralatan dan pengetahuan tradisional untuk memperoleh sumber daya dan penangkapan ikan komersial juga menjadi kendala.

Batal percaya bahwa berbagai upaya harus dilakukan untuk mendistribusikan makanan tradisional, mengatur ekspedisi penangkapan ikan, dan menawarkan lokakarya tentang cara mendapatkan dan menyiapkan spesies baru. Menurut dia, budidaya ikan yang berkontribusi terhadap penurunan spesies liar harus diatur dengan lebih baik

“Sistem pangan tradisional sangat penting bagi masyarakat adat, tidak ada sumber daya yang setara secara nutrisi dan budaya. Menerapkan solusi seperti yang kami usulkan di FNFNES harus menjadi bagian dari upaya politik dan individu menuju rekonsiliasi dan dekolonisasi,” kata Batal.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement