REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menyatakan pengembangan kota-kota satelit baru yang padat penduduk harus memikirkan pembangunan sanitasi atau pengolahan limbah memadai agar tidak mencemari air tanah dan air baku. Deputi Bidang Kebijakan Pembangunan BRIN Mego Pinandito mengatakan sanitasi harus terpusat agar memudahkan proses pengelolaan dan tidak lagi terpisah, di mana satu rumah ada satu tangki septik.
"Pengembangan kota-kota satelit baru atau daerah pemukiman yang baru mestinya sistem untuk septic tank atau pengelolaan limbah juga dikumpulkan," ujarnya dalam Forum Merdeka Barat yang dipantau di Jakarta, Rabu (13/3/2024).
Mego menuturkan standar minimal jarak sumber air atau sumur dengan tangki septik adalah 10 meter. Bila jarak itu terlalu pendek dapat membuat sumur menjadi tidak higienis karena tercemar beragam bakteri dari tangki septik.
Menurut dia, pengembangan jaringan pipa transmisi air baku yang terdistribusi merata ke seluruh lapisan masyarakat dapat mengatasi eksploitasi air tanah dan menjawab tantangan krisis air di kawasan perkotaan.
"Kita tahu di kota-kota besar dengan penduduk padat membutuhkan dukungan dari sistem perpipaan atau PDAM yang besar, yang ini juga akan membutuhkan sumber air baku," kata Mego.
Lebih lanjut dia menyampaikan jika sumber air baku diambil dari sungai, maka sungai harus dipastikan dalam kondisi bersih dan terjaga. Di Surabaya misalnya, kata dia, sumber air baku yang diterima masyarakat melalui jaringan pipa transmisi bersumber dari Sungai Bengawan Solo yang berada di Jawa Tengah.
Menurut dia, sinkronisasi kebijakan pengelolaan air baku tidak hanya melibatkan pemerintah daerah, tetapi juga multisektor.
"Krisis air memaksa kita mengambil air tanah karena sistem perpipaan melalui PDAM masih kurang. Upaya-upaya itu (pembangunan sanitasi komunal dan pengembangan jaringan pipa) terus dikembangkan," ujar Mego.