Sabtu 15 Jun 2024 19:58 WIB

Aktivis Kecam Kegagalan G7 Ambil Langkah Nyata Atasi Perubahan Iklim

Butuh dana triliunan tutupi akibat kerusakan iklim.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Presiden Joko Widodo melakukan sesi foto bersama para anggota negara G7 dan negara mitra yang hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Hotel Grand Prince, Hiroshima, Jepang, pada Sabtu, 20 Mei 2023. Presiden tampak berdiri di sebelah kanan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, sedangkan di sebelah kanan Presiden Jokowi adalah Presiden Republik Korea Yoon Suk Yeol.Tampak pula di belakang Presiden Jokowi adalah Perdana Menteri India Narendra Modi yang berdiri di antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz.
Foto: Dok Laily Rachev/Biro Pers Sekre
Presiden Joko Widodo melakukan sesi foto bersama para anggota negara G7 dan negara mitra yang hadir dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G7 di Hotel Grand Prince, Hiroshima, Jepang, pada Sabtu, 20 Mei 2023. Presiden tampak berdiri di sebelah kanan Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida, sedangkan di sebelah kanan Presiden Jokowi adalah Presiden Republik Korea Yoon Suk Yeol.Tampak pula di belakang Presiden Jokowi adalah Perdana Menteri India Narendra Modi yang berdiri di antara Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kanselir Jerman Olaf Scholz.

REPUBLIKA.CO.ID, MILAN -- Pertemuan kelompok negara kaya G7 dianggap tidak menghasilkan komitmen untuk mengambil tindakan nyata dalam mengatasi perubahan iklim. Aktivis lingkungan mengatakan pemimpin-pemimpin G7 hanya memberikan janji "kosong" untuk mengambil langkah nyata mengatakan tiga krisis" yakni perubahan iklim, polusi dan hilangnya keanekaragaman hayati.

"Menjelang COP29 (pertemuan iklim PBB) dan dunia menghadapi dampak semakin buruknya perubahan iklim, tidak bisa membuang-buang waktu," kata juru kampanye organisasi lingkungan 350 org Candice Fortin seperti dikutip dari Common Dreams, Sabtu (15/6/2024).

Baca Juga

"Bila AS (Amerika Serikat) ingin membanggakan dirinya sebagai 'pemimpin dunia,' mereka harus menunjukkan bagaimana akan membayar utang iklimnya pada negara-negara rentan perubahan iklim yang paling terdampak pada perubahan iklim tanpa dana yang diperlukan untuk adaptasi," tambah Fortin.

Dalam rancangan pernyataan yang akan disampaikan pertemuan usai pertemuan tersebut AS, Inggris, Prancis, Kanada, Jepang dan Jerman dan Italia di Bari, Italia, sepakat menghapus penggunaan pembangkit listrik tenaga batu bara dalam sistem energi secara bertahap selama paruh pertama tahun 2030-an.

"Pemimpin-pemimpin kami tidak memimpin. Dalam 12 bulan terpanas beruturut-turut dalam sejarah manusia, pemimpin kami mengecewakan kami," kata kepala keuangan publik organisasi lingkungan Oil Change International Bronwen Tucker dalam pernyataannya.

Tucker mengatakan waktu yang ditetapkan negara-negara G7 untuk menghentikan penggunaan batu bara tidak cukup. Dalam dokumen rancangan pernyataan itu G7 memberikan lampu hijau pada investasi publik pada gas alam yang juga bahan bakar fosil penghasil polusi.

Menurutnya langkah G7 mendukung peningkatan produksi gas dari fosil mengirimkan sinyal yang buruk di saat negara-negara tersebut seharusnya berfokus untuk mempercepat penghentian penggunaan batu bara, bukan menundanya.

"Para pemimpin G7 tidak dapat mengatakan mereka berkomitmen terhadap iklim yang layak huni sambil memperluas dan mendanai industri bahan bakar fosil di dalam dan luar negeri," kata Tucker.

"Pada saat yang sama, negara-negara kaya ini tidak boleh memberi selamat kepada diri mereka sendiri karena terlambat memberikan dana sebesar 100 miliar dolar AS untuk pendanaan iklim selama dua tahun," tambahnya.

Tucker mengatakan butuh dana triliunan untuk menutupi kerusakan iklim dan sebagian besar dana G7 diberikan dalam bentuk pinjaman yang hanya akan memperburuk utang yang tidak adil. "G7 harus mengakhiri miliaran dolar dana pembayar pajak yang masih mengalir ke proyek-proyek bahan bakar fosil di luar negeri dan mendanai pembangunan energi terbarukan yang terjangkau dengan persyaratan yang adil," tegas Tucker.

"Jika rencana ekspansi minyak dan gas mereka diizinkan untuk dilanjutkan, hal itu akan menyebabkan kekacauan iklim dan masa depan yang tidak layak huni."

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement