Ahad 11 Aug 2024 20:01 WIB

Bagaimana Data Digital Mempengaruhi Perubahan Iklim

Sebanyak 68 persen data yang digunakan perusahaan tidak pernah digunakan lagi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Indira Rezkisari
Ilustrasi cloud atau komputasi awan
Foto: pixabay
Ilustrasi cloud atau komputasi awan

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Penelitian menemukan sebagian besar data yang disimpan di komputasi awan merupakan "data gelap" yang artinya data tersebut digunakan sekali dan tidak pernah dikunjungi lagi. Namun sebagian besar data yang tersimpan di pusat-pusat data merupakan data gelap.

Jaringan Listrik Nasional Inggris mengantisipasi konsumsi listrik pusat data dari total konsumsi seluruh negeri pada tahun 2030 hanya di bawah 6 persen. Sehingga sangat penting menjadikan pengelolaan data bagian dari upaya penanggulangan perubahan iklim.

Baca Juga

Profesor strategi di Loughborough University Ian Hodgkinson mempelajari bagaimana data gelap mempengaruhi perubahan iklim dan bagaimana menguranginya. "Saya baru memulainya beberapa tahun yang lalu, saya mencoba memahami kemungkinan dampak negatif data digital pada lingkungan," kata Hodgkinson pada The Guardian, Ahad (11/8/2024).

Hodgkinson mengatakan awalnya pertanyaan itu mungkin mudah dijawab. Namun setelah diteliti ternyata lebih rumit dan mengonfirmasi data memiliki dampak negatif pada lingkungan.

Ia menemukan 68 persen data yang digunakan perusahaan tidak pernah digunakan lagi. Hal itu berlaku untuk data pribadi. "Bila memikirkan individu dan masyarakat lebih luas, kita akan menemukan masih banyak yang mengira data netral karbon, tapi setiap potongan data baik itu gambar, baik itu unggahan instagram, atau apa pun itu, ada jejak karbon di dalamnya," kata Hodgkinson.

Hodgkinson menjelaskan teknologi komputasi awan di pusat-pusat data sangat panas, bising dan memakan banyak energi. Ia mengatakan satu meme lucu tidak akan menghancurkan planet tapi jutaan meme yang tersimpan dan tidak pernah digunakan lagi akan berdampak pada pada bumi.

"Satu foto tidak akan menimbulkan dampak drastis, tapi tentu, bila Anda melihat telepon genggam Anda dan anda melihat seluruh foto-foto lama yang Anda miliki, secara akumulatif, menciptakan kesan yang besar dalam hal konsumsi energi," katanya.

Perusahaan pusat data dan teknologi mendapatkan keuntungan keuangan bila mereka bisa mencegah orang menghapus data sampah. Sebab semakin banyak data yang disimpan orang akan membayar untuk layanan mereka.

"Kita membayar penyimpanan itu, pada dasarnya Anda membayar sesuatu yang tidak akan pernah Anda gunakan lagi karena Anda tidak menyadari itu ada, dan ketika kita memikirkan harga mahalnya, tapi juga dampaknya pada lingkungan, pada gambaran besarnya, kami jauh dari jalur untuk mencapai nol emisi pada tahun 2050," katanya.

Hodgkinson mengatakan mungkin ada kontributor gas rumah kaca lainnya yang belum diketahui. Menurutnya salah satunya ada industri data yang terus tumbuh dan membesar.

Hodgkinson mencatat penggunaan energi terbarukan memang tumbuh pesat beberapa tahun terakhir. Tapi menurutnya energi terbarukan tidak dapat mengakomodasi kebutuhan energi yang dibutuhkan pusat data.

"Jadi pemikiran ini cukup menakutkan," katanya.

Ia mengatakan satu hal yang dapat dilakukan masyarakat untuk menghentikan tumpukan data sampah, yaitu berhenti mengirimkan email tidak penting.

"Salah satu [angka] yang sering muncul adalah untuk setiap email standar, setara dengan sekitar 4g karbon," katanya.

Ia menambahkan data-data atau foto-foto digital lama terus disimpan tentu akan menimbulkan dampak akumulatif. Hodgkinson mengatakan salah satu langkah untuk mengurangi jejak karbon adalah menghindari tombol "reply all."

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement