REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kekeringan parah di hutan tropis Amazon menyebabkan tinggi permukaan air di Sungai Paraguay turun ke titik terendahnya dalam satu abad terakhir. Hal ini mengganggu lalu lintas transportasi air, memblokir akses masyarakat setempat dan menjadi peringatan bagi belahan dunia lain.
Departemen Meteorologi dan Hidrologi Paraguay melaporkan tinggi permukaan air yang namanya diambil dari nama negara, turun hingga 89 sentimeter atau 35 inchi di bawah ambang batas meter Pelabuhan Asuncion. Sungai yang menjadi urat nadi perekonomian setempat itu berada di titik terendahnya dalam 120 tahun.
Rekor sebelumnya terjadi tiga tahun yang lalu, Oktober 2021 yang menurut para pakar menjadi tanda bagaimana kekeringan yang menghancurkan menjadi semakin sering dan intensif. Sungai Amazon yang merupakan sungai dengan debit air terbesar di dunia dan anak sungainya Madeira juga mencatat tinggi permukaan air terendah.
Paraguay yang tidak memiliki pantai langsung merasakan dampaknya. Negara Amerika Latin itu salah satu eksportir komoditas pertanian terbesar di dunia, mengandalkan sungai untuk mengangkut 80 persen komoditas untuk perdagangan internasional.
Ketua serikat nelayan Paraguay mengatakan penurunan permukaan air sungai membuat 1.600 nelayan menganggur. Lusinan perahu yang biasanya mengarungi sungai terdampar di pinggir sungai yang kering. "Saya tidak memiliki jalan keluar, ini bencana," kata salah seorang nelayan Fermin Gimenez yang terdampak di pinggir sungai, Senin (9/9/2024).
Jalur air Paraguay-Parana membentang 3.400 kilometer dari Argentina, Brasil, Uruguay, Paraguay dan Bolivia kemudian berakhir di laut lepas. Jalur ini merupakan urat nadi transportasi air yang digunakan untuk mengirim gandum, jagung, kedelai, dan produk-produk pertanian lainnya.
Asosiasi perkapalan Paraguay mengatakan beberapa hari terakhir gangguan transportasi menyebar ke negara-negara tetangga Paraguay. Lebih dari setengah kapasitas pengiriman yang dilakukan lewat transportasi air ditunda atau dihentikan. Asosiasi menambahkan hanya sedikit yang dapat dimuat ke kapal kargo tanpa risiko tersangkut di sepanjang bagian sungai yang dangkal.
Hal ini telah menimbulkan masalah besar di beberapa negara, termasuk Brasil, yang mengekspor bijih besi di sepanjang sungai, dan Bolivia, yang terpaksa mengalihkan pengiriman bahan bakar yang sangat dibutuhkan melalui jalur darat yang lebih lambat.
Presiden Pusat Pemilik Kapal Sungai dan Maritim Paraguay Raúl Valdez mengatakan Paraguay, yang bergantung pada sungai untuk menghasilkan listrik, juga menghadapi kemungkinan pengurangan pasokan.
Dengan tidak adanya curah hujan yang dalam beberapa minggu mendatang, para pejabat industri mengatakan tidak ada bantuan yang terlihat. Mereka mengantisipasi kerugian ratusan juta dolar.
"Pertanyaan utama kami adalah, apakah ini akan menjadi pola baru? Tidak ada yang mengharapkan pemulihan yang cepat, ini adalah kekhawatiran utama bagi seluruh wilayah," kata Valdez.
Para pakar mengatakan mengeringnya Sungai Paraguay seperti halnya sungai-sungai lain di seluruh dunia mencerminkan bagaimana pertumbuhan penduduk, perubahan iklim dan deforestasi disertai tata kelola yang buruk dan praktik-praktik irigasi yang tidak efisien telah mengubah bentang alam, menjungkirbalikkan ekosistem yang rapuh, serta membuat sejumlah komunitas berebut air bersih.
“Di seluruh dunia kita melihat peningkatan kekeringan; kekeringan yang lebih lama, lebih intens, lebih sering dan lebih sulit untuk dipulihkan,” kata wakil direktur jenderal untuk penelitian di International Water Management Institute Rachael McDonnell.
McDonnell menambahkan ketika curah hujan semakin tidak menentu dan iklim yang memanas mengintensifkan siklus banjir dan kekeringan maka ekosistem semakin rentan.