Kamis 17 Oct 2024 11:28 WIB

Kualitas Udara Buruk Ancam Kesehatan Masyarakat, Anak-Anak dan Lansia Paling Rentan

Di fase awal kehidupan, kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan asma.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Suasana Monas yang tertutup polusi di Jakarta, Jumat (21/6/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay
Suasana Monas yang tertutup polusi di Jakarta, Jumat (21/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kualitas udara dan perubahan iklim sangat mempengaruhi kesehatan masyarakat. Direktur Penyehatan Lingkungan Kesehatan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) Anas Ma'ruf menjelaskan, polusi udara dalam ruangan maupun luar ruangan mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan manusia di setiap kelompok usia.

Ia mengatakan orang yang paling rentan adalah kelompok usia lanjut dan kelompok anak-anak. Anas menambahkan, kualitas udara yang buruk dapat mengakibatkan kelahiran bayi dengan berat badan yang rendah atau prematur.

Anas menjelaskan, di fase awal kehidupan, kualitas udara yang buruk dapat menyebabkan asma, infeksi pernapasan. Sementara pada orang dewasa bisa menyebabkan stroke, penyakit kardiovaskular, dan bronkitis kronis.

"Strategi adaptasi pengelolaan dampak kesehatan dari buruknya kualitas udara adalah pelayanan kesehatan atas penyakit akibat polusi udara (PPOK, Asma, Pneumonia) di fasilitas pelayanan kesehatan primer dan rujukan. Riset penyakit dan tata laksana yang terkait faktor risiko polusi udara," kata Anas.

Sekretaris Utama BMKG Dwi Budi Sutrisno menjelaskan kualitas udara dan perubahan iklim merupakan dua isu yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Emisi dari pembakaran bahan bakar fosil dan biomassa menjadi penghubung yang krusial antara kedua permasalahan ini.

"Polutan seperti CO2, metana, dan black carbon tidak hanya berkontribusi terhadap pemanasan global, tetapi juga berdampak buruk terhadap kualitas udara yang kita hirup setiap hari," kata Dwi Budi di Auditorium Gedung Pusat BMKG.

Lebih lanjut, perubahan suhu rata-rata global dari tahun 1850 hingga 2023 terus mengalami peningkatan secara signifikan. Pun, anomali suhu permukaan tahun 2023 telah memperlihatkan kenaikan suhu di berbagai wilayah dunia khususnya belahan bumi bagian utara.

Ia menjelaskan, BMKG melakukan pemantauan terhadap konsentrasi karbon dioksida (CO2) sebagai upaya global untuk mengamati gas rumah kaca. Data yang diukur menunjukkan tren peningkatan CO2 yang konsisten dari tahun ke tahun, sejalan dengan tren global peningkatan emisi akibat aktivitas manusia seperti pembakaran bahan bakar fosil dan deforestasi.

"Sebaran NO2 yang dipantau oleh BMKG via satelit TROPOMI menunjukkan konsentrasi tertinggi terdeteksi di area urban dan sekitar fasilitas pembangkit listrik," ujarnya.

Berdasarkan data monitoring, sebaran partikel akibat kebakaran hutan dan lahan pada 5 Oktober 2023 menunjukkan konsentrasi partikel yang tinggi akibat pembakaran biomassa yang tersebar di sebagian besar wilayah Sumatra dan Kalimantan. Akibatnya, emisi yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar fosil seperti CO2, metana (CH4), dan polutan lainnya berkontribusi signifikan terhadap pemanasan global dengan memperkuat efek rumah kaca di atmosfer.

"Selain itu emisi ini juga mengandung partikel berbahaya seperti black carbon dan nitrogen oksida (NOx) yang secara langsung menurunkan kualitas udara," katanya. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement