Kamis 17 Oct 2024 17:43 WIB

Perubahan Iklim Memperburuk Kelangkaan Air, Ekonomi Dunia Terancam

Produksi pangan dunia banyak berasal dari wilayah yang ketersediaan airnya tak stabil

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Warga mengambil air dari tandon atau wadah persediaan air musim kemarau yang disalurkan petugas BPBD saat penyaluran air bersih di Desa Gilirejo Baru, Miri, Sragen, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Mohammad Ayudha
Warga mengambil air dari tandon atau wadah persediaan air musim kemarau yang disalurkan petugas BPBD saat penyaluran air bersih di Desa Gilirejo Baru, Miri, Sragen, Jawa Tengah, Senin (2/9/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Laporan terbaru Komisi Global Ekonomi Air (Global Commission on the Economics of Water atau GCEW) mengatakan dunia sedang menghadapi krisis air yang semakin memburuk. Laporan itu memperingatkan jika tidak ada tindakan, pada tahun 2050, masalah air akan mengurangi sekitar 8 persen dari PDB global, dan negara-negara miskin akan mengalami kerugian sebesar 15 persen.

Dalam laporan tersebut, GCEW mengatakan lebih dari separuh produksi pangan dunia berasal dari wilayah yang ketersediaan airnya tidak stabil. Dikutip dari the Guardian, Kamis (17/10/2024) berikut lima temuan utama lembaga yang didirikan di Belanda pada 2022 lalu:

Baca Juga

1. Dunia alami krisis air

Lebih dari 2 miliar orang tidak memiliki akses ke air minum yang aman, sementara 3,6 miliar orang atau 44 persen populasi dunia kekurangan sanitasi yang layak. Setiap hari, 1.000 anak meninggal karena kekurangan air bersih. Permintaan air tawar diperkirakan akan melebihi pasokannya hingga 40 persen pada akhir dekade ini.

2. Tidak ada koordinasi global untuk atasi krisis air

Laporan ini juga menyoroti tidak adanya upaya global yang terkoordinasi untuk mengatasi krisis air. Meski sistem air dunia saling terkait, belum ada struktur tata kelola global yang menangani persoalan ini. PBB baru mengadakan satu konferensi air dalam 50 tahun terakhir, dan utusan khusus untuk air baru ditunjuk bulan lalu.

3. Perubahan iklim memperparah kelangkaan air

Dampak krisis iklim paling awal dirasakan pada sistem hidrologis dunia. Kini, sistem air di sejumlah wilayah dunia mengalami gangguan berat atau bahkan ambruk.  

Kekeringan di Amazon, banjir di Eropa dan Asia, serta pencairan gletser di pegunungan, yang menyebabkan banjir dan kekeringan di hilir, merupakan contoh dari cuaca ekstrem yang semakin sering terjadi.

Penggunaan air yang berlebihan juga memperparah krisis iklim, seperti pengeringan lahan gambut yang kaya karbon dan melepaskan karbon dioksida ke atmosfer.

4. Harga air tidak merata

Subsidi sektor pertanian di seluruh dunia sering kali menimbulkan konsekuensi yang tidak diinginkan bagi air. Subsidi ini mendorong petani untuk menyiram tanaman secara berlebihan atau menggunakan air secara boros.

Di sisi lain, industri sering mendapatkan subsidi penggunaan air, atau pencemaran yang mereka lakukan diabaikan. Sementara itu, masyarakat miskin di negara berkembang harus membayar mahal untuk air atau hanya memiliki akses ke sumber air yang tercemar.

Penetapan harga air yang realistis, tanpa subsidi yang merusak tetapi melindungi kaum miskin, harus menjadi prioritas pemerintah.

5. Air adalah kebaikan bersama

Laporan ini menegaskan semua kehidupan manusia bergantung pada air, namun air tidak diakui sebagai sumber daya yang tak tergantikan. Para penulis menyerukan perubahan cara pandang terhadap air, bukan sebagai sumber daya yang tak terbatas, tetapi sebagai kebaikan bersama global.

Mereka mendesak pemerintah untuk membuat pakta global guna melindungi sumber air dan menciptakan ekonomi sirkular untuk air, di mana air dapat digunakan kembali dan pencemaran dapat dibersihkan.

Negara berkembang juga harus mendapatkan akses ke pendanaan untuk membantu menghentikan pengrusakan ekosistem alami yang merupakan bagian penting dari siklus hidrologis. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement