Kamis 17 Oct 2024 15:59 WIB

Perlu Pakta Internasional Baru untuk Atasi Krisis Air Global

Kenaikan suhu bumi mengganggu siklus sistem air.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Sebuah sisa bangunan di Desa Kallio terlihat lagi setelah surutnya permukaan air akibat kekeringan di Danau Mornos, Yunani, 3 September 2024.
Foto: REUTERS/Stelios Misinas
Sebuah sisa bangunan di Desa Kallio terlihat lagi setelah surutnya permukaan air akibat kekeringan di Danau Mornos, Yunani, 3 September 2024.

REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Lembaga peninjau krisis air dunia, Global Commission on the Economics of Water (GCEW), mengatakan perlu pakta internasional baru untuk mengatasi krisis air yang memangkas 8 persen pertumbuhan ekonomi. GCEW mengatakan krisis air juga membahayakan pasokan pangan dunia pada tahun 2050.

Dalam laporannya, GCEW menyatakan bahwa perubahan iklim, pengrusakan lahan dan salah kelola kronis, membawa sistem siklus air global dalam kondisi yang tidak pernah terjadi sebelumnya. GCEW mengatakan wilayah padat penduduk seperti barat laut India, timur laut Cina dan selatan serta timur Eropa rentan terhadap kelangkaan air.

Baca Juga

GCEW mengatakan pemerintah-pemerintah dunia harus bekerja sama menciptakan inisiatif baru untuk mentransformasi bagaimana air dikonsumsi. Selain itu, harus memastikan investasi pada infrastruktur penting menjangkau tempat yang tepat.

"Kami harus menetapkan tujuan bersama untuk keberlanjutan air, pada akhirnya diperlukan pakta global," kata anggota dewan GCEW dan Presiden Singapura Tharman Shanmugaratnam, Kamis (17/10/2024).

Shanmugaratnam mengakui butuh waktu beberapa tahun untuk menetapkan pakta internasional baru tapi prosesnya sedang dimulai. Laporan GCEW mengungkapkan pasokan air dunia tidak lagi dapat diandalkan sebagian karena pergeseran pola curah hujan. Kenaikan suhu bumi sebanyak 1 derajat Celsius meningkat kelembapan atmosfer sebesar 7 persen.

"Untuk pertama kalinya, kita benar-benar mengubah sumber utama air tawar, yaitu curah hujan," kata anggota dewan GCEW lainnya dan direktur Potsdam Institute for Climate Impact Research Johan Rockstrom.

Selain "air biru" yang berasal dari sungai dan danau. GCEW juga menyoroti "air hijau" yang menjaga kelembapan tanah dan kehidupan tanaman, setelah penguapan air hijau memberikan curah hujan bagi setengah wilayah dunia dalam proses yang disebut "sungai atmosfer."

Kenaikan suhu bumi mengganggu siklus sistem air, mengeringkan kelembapan tanah yang memburuk kekeringan dan memicu kebakaran hutan serta mengakibatkan degradasi dan kerusakan keanekaragaman hayati. GCEW mengatakan pemanasan global juga mengganggu aliran sungai atmosfer.

Wilayah yang mengandalkan irigasi tinggi akan kehilangan kapasitas penyimpanan airnya. Berdasarkan tren saat ini, produksi biji-bijian dunia dapat turun sebanyak 23 persen. GCEW mengatakan diperlukan mekanisme pembiayaan baru untuk mendorong investasi ke infrastruktur air, terutama di negara-negara rentan. Bank juga harus memasukan perlindungan pasokan air dalam persyaratan peminjaman.

Anggota dewan GCEW lainnya dan Direktur Jenderal Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Ngozi Okonjo-Iweala mengatakan upaya global untuk menetapkan harga air yang tepat juga diperlukan. Ia menekankan "pengalihan" subsidi tahunan ke sektor pertanian sebesar 600 miliar dolar AS yang mendorong konsumsi berlebihan dan penanaman tanaman boros air di wilayah yang tidak sesuai.

Peneliti politik air dari lembaga think-tank Oxford Global Society Genevieve Donnellon-May mengatakan kerja sama multilateral untuk mengatasi ancaman terhadap pasokan air global memang dibutuhkan. Tapi kelangkaan air juga dapat menambah ketegangan geopolitik.

“Salah satu kekhawatirannya adalah bahwa meningkatnya kelangkaan air dapat menyebabkan berkurangnya kerja sama lintas batas, baik di tingkat subnasional maupun antar negara,” katanya. 

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement