REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Langkah Cina memasang banyak pembangkit listrik tenaga surya dan angin di seluruh negeri diperkirakan membawa negara tersebut sudah sampai pada puncak emisinya pada tahun 2023. Pakar mengatakan hal ini akan menjadi titik balik bersejarah dalam upaya mengatasi perubahan iklim.
Ketika perekonomian Cina mulai pulih dari pandemi Covid-19, emisi negara itu mencapai titik tertingginya tahun lalu. Namun sejak itu Cina menyambungkan banyak pembangkit listrik tenaga surya dan angin dengan jaringan listriknya, sementara emisi dari industri konstruksi turun.
Analisa terbaru mengindikasi emisi karbon Cina dari Juli sampai September 2024 masih stagnan, setelah sempat turun 1 persen pada kuartal kedua tahun ini. Artinya, emisi tahun 2024 masih berada di titik tahun 2023 atau sedikit lebih rendah. Peneliti lembaga think-tank asal Finlandia, Centre for Research on Energy and Clean Air Lauri Myllyvirta mengatakan hal ini berdampak signifikan pada upaya iklim global.
"Pertumbuhan emisi Cina faktor dominan yang menaikan emisi global selama delapan tahun terakhir sejak penandatangan Perjanjian Paris," kata Myllyvirta seperti dikutip dari New Scientist, Selasa (29/10/2024).
Dalam target pemangkasan emisi nasional atau NDC yang diajukan ke PBB, Cina berjanji puncak gas emisinya akan terjadi sebelum 2030 dan mencapai nol emisi pada tahun 2060. Namun pakar memperingatkan rencana itu tidak cukup ambisius. Terutama mengingat besarnya dampak Cina pada perubahan iklim global sebagai penghasil emisi terbesar di dunia.
Myllyvirta mengatakan untuk menghindari dampak mematikan pemanasan global, sangat penting Cina mencapai puncak emisinya secepat mungkin. "Itu akan membuka pintu negara itu untuk mulai mengurangi emisinya lebih cepat dibandingkan komitmen yang ditetapkan saat ini, ini akan memberikan dampak yang sangat besar bagi upaya global menghindari bencana mematikan akibat perubahan iklim," katanya.
Cina mempercepat upaya menyalurkan listrik ke seluruh negeri dan memenuhi semakin tingginya permintaan listrik. Permintaan listrik bulan Juli sampai September naik 7,2 persen dibanding periode yang sama tahun lalu.
Hal ini dipicu naiknya standar hidup serta kuatnya gelombang panas selama bulan Agustus dan September yang meningkatkan penggunaan pendingin ruangan. Cina meningkatkan kapasitas energi terbarukan di seluruh negeri untuk membantu memenuhi kesenjangan permintaan listrik.
Kapasitas pembangkit listrik tenaga surya dari bulan Juli sampai September tahun ini naik 44 persen dan angin naik 24 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Berdasarkan tren ini, pertumbuhan pembangkit listrik tenaga surya Cina tahun ini diprediksi akan setara dengan total produksi listrik tahunan Australia pada tahun 2023.
Namun, di periode Juli sampai September 2024, pembangkit listrik tenaga batu bara masih naik 2 persen dan gas naik 13 persen. Hal ini menaikkan total emisi sektor listrik Cina 3 persen di periode tersebut. Namun emisi dari sektor konstruksi turun karena investasi di real estate mengalami kontraksi.
Permintaan minyak pada kuartal ketiga tahun ini juga turun 2 persen, setelah pangsa pasar kendaraan listrik di Cina semakin membesar. Pada tahun 2030 diprediksi 1 dari 3 mobil di jalan-jalan Cina merupakan mobil listrik. Myllyvirta melakukan analisas untuk situs Carbon Brief menggunakan data pemerintah dan komersial. "Pertumbuhan energi bersih berlangsung cepat, bila dipertahankan, akan membuka jalan untuk penurunan emisi yang berkelanjutan," katanya.
Namun ia memperingatkan stagnasi atau penurunan emisi pada tahun 2024 tidak menjamin hal itu. Stimulus pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dapat menaikkan emisi di tiga bulan terakhir 2024.
Ia mengatakan emisi harus turun setidaknya 2 persen dalam tiga bulan terakhir tahun ini agar dapat lebih rendah dari tingkat tahun 2023. Namun pemerintah Cina memberi sinyal emisi akan terus naik sampai akhir dekade ini.