REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG -- Negara pulau kecil Vanuatu mendesak Mahkamah Internasional (ICJ) memberikan tanggapan yang kuat saat mereka mengeluarkan pendapat dalam sidang mengenai kewajiban hukum negara-negara dalam memerangi perubahan iklim dan konsekuensi dari kontribusi mereka terhadap pemanasan global. Di ICJ, Utusan khusus Vanuatu untuk perubahan iklim dan lingkungan, Ralph Regenvanu mengatakan negaranya berada di garis depan krisis yang tidak mereka ciptakan, krisis yang mengancam keberadaan mereka.
"Kami ada di garis depan krisis yang tidak kami ciptakan, sebuah krisis yang mengancam keberadaan kami," ujarnya saat sidang dimulai, Senin (2/12/2024).
Regenvanu menekankan perlunya respons terhadap perubahan iklim yang berakar pada hukum internasional, bukan politik. Vanuatu merupakan salah satu negara pulau kecil yang mempelopori upaya untuk mendapatkan pendapat hukum dari pengadilan tertinggi PBB, menjadi yang pertama dari lebih dari 100 negara dan organisasi internasional yang memberikan pandangan mereka selama sidang dengar yang berlangsung dua pekan.
Sidang ini dimulai satu pekan setelah negara-negara berkembang mengecam hasil Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP29) yang dianggap sangat tidak memadai. di mana negara-negara kaya setuju untuk memberikan 300 miliar dolar AS dalam pembiayaan iklim tahunan hingga 2035 untuk membantu negara-negara miskin menghadapi perubahan iklim.
Regenvanu meminta pengadilan untuk memutuskan negara-negara yang telah mengeluarkan gas rumah kaca selama beberapa dekade menyebabkan kerusakan besar bagi rakyat Vanuatu dan kerusakan tersebut harus diperbaiki. "Jangan biarkan generasi mendatang melihat ke belakang dan bertanya-tanya mengapa penyebab kebinasaan mereka dibiarkan," katanya.
Meskipun pendapat hukum Mahkamah Internasional atau Pengadilan Dunia tidak mengikat, pendapat tersebut memiliki signifikansi hukum dan politik. Para ahli mengatakan pendapat pengadilan tentang perubahan iklim kemungkinan akan dikutip dalam gugatan yang dipicu perubahan iklim di pengadilan dari Eropa hingga Amerika Latin dan seterusnya.
Selain negara-negara pulau kecil dan banyak negara Barat serta negara berkembang, pengadilan juga akan mendengarkan argumen dari dua penghasil gas rumah kaca terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat dan Cina. Kelompok produsen minyak OPEC juga akan memberikan pandangannya. Sidang akan berlangsung hingga 13 Desember, dan pendapat pengadilan diharapkan akan disampaikan pada tahun 2025.