REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG — Selama dua pekan mendatang, Mahkamah Internasional (ICJ) akan menggelar sidang perubahan iklim untuk mendapatkan jawaban apakah negara-negara memiliki kewajiban hukum untuk menanggulangi perubahan iklim dan konsekuensi hukum dari pengabaian dan tindakan yang merusak iklim dan lingkungan. Dalam sidang yang akan melibatkan 99 negara ini untuk pertama kalinya, 15 hakim ICJ diminta memberikan pendapat mengenai kewajiban negara-negara dalam mencegah perubahan iklim dan konsekuensi yang akan dihadapi jika mereka gagal.
Menurut para ahli, temuan pengadilan ini dapat memperkuat posisi negara-negara yang mengambil tindakan hukum terhadap pencemar besar yang tidak mengurangi emisi. Vanuatu, yang dikenal sebagai salah satu negara paling rentan terhadap bencana alam, memimpin upaya ini di pengadilan internasional.
Perjalanan menuju ICJ dimulai lima tahun lalu ketika sekelompok mahasiswa hukum dari Universitas Pasifik Selatan (UNSW) di Vanuatu mendiskusikan cara untuk mendorong tindakan iklim. “Kasus ini adalah contoh nyata negara-negara Kepulauan Pasifik yang menjadi pemimpin dalam krisis iklim, ini adalah momen David dan Goliath yang luar biasa,” kata peneliti di Institut Risiko dan Respons Iklim UNSW Wesley Morgan, seperti dikutip dari ABC.net, Senin (2/12/2024).
Advokat lingkungan dan pengacara dari seluruh dunia akan hadir di sidang ini, sementara para ahli mengamati dengan cermat kesaksian dari Australia yang akan disampaikan Senin ini.
Cynthia Houniuhi, seorang mahasiswa dari Kepulauan Solomon, mengingat dengan jelas diskusi di kelas yang memicu inisiatif ini. Mahasiswa merasa terdorong untuk bertindak setelah melihat dampak kenaikan permukaan laut dan badai siklon yang melanda komunitas mereka.
Mereka mengusulkan agar ICJ mengeluarkan pendapat penasihat mengenai kewajiban negara untuk melindungi iklim dari emisi gas rumah kaca. Vanuatu kemudian membangun koalisi negara-negara untuk mendorong Majelis Umum PBB merujuk kasus ini ke ICJ, yang berhasil dilakukan pada Maret tahun lalu.
Keputusan tersebut dipuji sebagai tonggak penting dalam perjuangan untuk keadilan iklim. “Ini adalah kesempatan pertama bagi negara-negara kecil untuk mengangkat isu-isu ini di Pengadilan Dunia,” kata profesor hukum internasional di Universitas Nasional Australia Donald Rothwell.
Sidang ini akan berlangsung selama dua minggu, dengan hampir 100 negara dijadwalkan untuk memberikan argumen.
Pengadilan akan memutuskan dua pertanyaan utama: kewajiban negara di bawah hukum internasional untuk melindungi iklim dan lingkungan, serta konsekuensi hukum bagi negara-negara yang menyebabkan kerusakan signifikan.
Ralph Regenvanu, utusan khusus Vanuatu untuk perubahan iklim, menekankan pentingnya kasus ini dalam konteks kebutuhan mendesak negara-negara Kepulauan Pasifik untuk mendapatkan dukungan finansial dalam menghadapi perubahan iklim. “Ini adalah harapan bagi rakyat kami,” kata Houniuhi, yang berharap pengalaman mereka tentang perubahan iklim dapat tercermin di tingkat tertinggi.
Meskipun pendapat penasihat ICJ tidak mengikat, hal ini dapat mempengaruhi litigasi perubahan iklim di seluruh dunia. Para ahli memperkirakan bahwa hasil dari sidang ini akan sangat bergantung pada bagaimana pengadilan menjawab pertanyaan mengenai konsekuensi bagi negara-negara yang gagal mengambil tindakan.