REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Menteri Lingkungan Hidup (Wamen LH) Diaz Hendropriyono mengatakan pemerintah akan terus mendorong aktivitas perdagangan karbon. Salah satu upaya yang dilakukan adalah dengan memanfaatkan solusi berbasis alam atau nature based solution (NBS), seperti emisi yang disimpan di ekosistem gambut untuk kredit karbon.
Dalam acara Indonesia Climate Policy Outlook 2025 yang diadakan Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) di Jakarta, Kamis (20/2/2025), Diaz menyampaikan bahwa Indonesia sudah meresmikan perdagangan karbon internasional pada awal tahun ini, setelah perdagangan skala nasional dimulai ditandai dengan peluncuran Bursa Karbon Indonesia pada 2023.
Namun, dia mengakui bahwa kinerja perdagangan karbon belum optimal. "Kemungkinan yang dicari pasar itu adalah nature based solution (NBS), bukan hanya renewable karena harganya juga mungkin akan lebih baik dan sellable. Jadi kita sekarang mencari suplai, mencari sebanyak-banyaknya khususnya dari NBS dan dari gambut juga," kata Wamen LH Diaz.
Dia menyebut bahwa cadangan karbon yang dapat diperjualbelikan di dalam perdagangan karbon akan terus diperluas sembari menyempurnakan Sistem Registri Nasional (SRN) dan berbagai sistem lain yang mendukung kelancaran perdagangan karbon tersebut. "Tapi lagi-lagi tadi sebenarnya saya bilang di awal sebenarnya bukan hanya masalah suplai, tetapi tingkat ketertarikan atau attractiveness dari karbon itu sendiri," jelasnya.
Tidak hanya itu, dia mengatakan bahwa terdapat juga faktor pengakuan dari lembaga sertifikasi yang menjadi perhatian komunitas internasional. Untuk itu, pemerintah ingin mendorong permintaan dengan membuka pintu untuk Mutual Recognition Arrangement (MRA) dengan berbagai pihak lain. Indonesia diketahui sendiri sudah memiliki kesepakatan penerapan MRA dengan Jepang yang baru diluncurkan tahun lalu di Konferensi Perubahan Iklim PBB ke-29 (COP29) di Azerbaijan tahun lalu.