REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Analisis Climate Central menunjukkan 48,6 juta masyarakat Indonesia mengalami panas ekstrem dalam tiga bulan terakhir, dari Desember 2024 hingga Februari 2025. Climate Central mengatakan aktivitas manusia, terutama dari pembakaran batu bara, minyak, dan gas metana, memperparah gelombang panas.
Mengacu laporan Climate Central, Indonesia merupakan negara ke-2 teratas yang masyarakatnya paling banyak terpapar panas ekstrem lebih dari 30 hari, setelah Nigeria, dengan 48,6 juta masyarakat atau 17 persen populasi yang terdampak. Sementara jumlah masyarakat terdampak suhu tinggi yang diperburuk oleh krisis iklim sebanyak 45,1 juta orang atau 16 persen populasi.
Jakarta juga menempati urutan ke-4 di dunia sebagai kota besar yang paling lama mengalami panas ekstrem, setelah Lagos di Nigeria, Tamil Nadu di India, dan Manilai di Filipina. Tercatat, Jakarta telah mengalami 69 hari dengan suhu tinggi yang sangat dipengaruhi oleh perubahan iklim, dengan anomali mencapai 0,7 derajat Celsius di atas rata-rata historis.
Jakarta merupakan satu dari 11 kota di dunia yang terpapar panas ekstrem lebih dari 30 hari. Hal ini menjadi sinyal nyata bahwa krisis iklim semakin mengancam kota-kota besar.
“Rata-rata orang di dunia mengalami enam hari dengan panas tinggi dari Desember 2024 hingga Februari 2025," kata pakar iklim Climate Central Joseph Giguere dalam pernyataannya, Kamis (20/3/2025).
Giguere menjelaskan hal ini mengindikasi perubahan iklim yang disebabkan aktivitas manusia menambah jumlah hari rata-rata seseorang mengalami hari panas dalam rentang waktu tiga bulan, dari satu menjadi lima hari. "Tanpa perubahan iklim, paparan rata-rata seseorang terhadap suhu tinggi seharusnya hanya satu hari dalam tiga bulan terakhir,” kata dia.
Climate Central mencatat selain panas ekstrem, curah hujan yang semakin meningkat akibat perubahan iklim juga menyebabkan banjir bandang di Pulau Jawa. Tercatat, 21 orang meninggal dunia dan ribuan lainnya kehilangan tempat tinggal akibat bencana ini.
Secara global, tercatat 394 juta orang mengalami lebih dari 30 hari dengan suhu tinggi akibat perubahan iklim, di mana 74 persen berada di Afrika. Anomali panas ekstrem terjadi ketika suhu udara lebih tinggi dari 90 persen dari suhu lokal yang tercatat dalam periode 1991-2020.
Kenaikan suhu melebihi batas tersebut akan meningkatkan risiko kesehatan dan kematian terkait panas ekstrem, lantaran masyarakat tidak terbiasa atau sulit beradaptasi pada suhu tinggi ini. Dari 220 negara yang dianalisis, setengahnya menunjukkan rata-rata penduduk mengalami suhu tinggi akibat perubahan iklim selama lebih dari satu bulan. Selain itu, 287 kota besar di seluruh dunia, termasuk Jakarta, penduduknya merasakan dampak signifikan dari perubahan iklim selama lebih dari sebulan.
Perubahan iklim berupa kenaikan suhu atau panas ekstrem tersebut disebabkan oleh aktivitas manusia, terutama pembakaran batu bara, minyak, dan gas metana. Tercatat, suhu global telah naik sekitar 1,2 derajat Celsius dibandingkan dengan era pra-industri akibat ketergantungan pada energi fosil.
Wakil Presiden Ilmu Pengetahuan Climate Central Kristina Dahl mengatakan perubahan iklim bukan lagi ancaman yang jauh, melainkan realitas yang saat ini dihadapi jutaan orang. “Frekuensi dan intensitas gelombang panas yang terus meningkat menunjukkan pola bahaya yang akan semakin parah jika pembakaran bahan bakar fosil terus berlanjut," katanya.