Rabu 23 Apr 2025 16:47 WIB

Mayoritas Eksekutif Bisnis di Indonesia Dukung Transisi Energi

Pasokan listrik EBT diyakini akan menguntungkan perusahaan dan masyarakat.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Suasana Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.
Foto: REPUBLIKA/ABDAN SYAKURA
Suasana Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Terapung di atas Waduk Cirata, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Survei menunjukkan sebagian besar petinggi atau eksekutif bisnis di Indonesia mendukung transisi energi dan penghentian penggunaan batu bara dalam sistem kelistrikan nasional pada 2035 atau lebih cepat. Mereka yakin pasokan listrik berbasis energi terbarukan lebih menguntungkan bagi perusahaan dan masyarakat.

Survei yang digelar Savanta atas permintaan "We Mean Business Coalition, E3G, dan Beyond Fossil Fuels" menunjukkan 88 persen eksekutif bisnis Indonesia mendukung transisi energi. Survei bertajuk “Powering up: Business perspectives on shifting to renewable electricity” dilakukan di 15 negara di dunia yang merupakan penghasil emisi batu bara dan gas besar global. 

Baca Juga

Hasilnya, 97 persen dari 1.477 pemimpin bisnis skala menengah dan besar di 15 negara, termasuk Indonesia, mendukung peralihan dari batu bara dan bahan bakar fosil lainnya. Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara, yang saat ini menyumbang 62 persen dari total kapasitas pembangkit listrik nasional, didukung cadangan batu bara mencapai lebih dari 31 miliar ton.

Tak hanya itu, produksi listrik berbasis batu bara meningkat hampir lima kali lipat dari 52 gigawatt hour (GWh) pada 2002 menjadi 249 GWh pada 2022. Kondisi ini bertentangan dengan keinginan 95 persen pemimpin bisnis di Indonesia yang mendukung penghentian penggunaan batu bara paling lambat pada 2035. Untuk itu, Indonesia perlu menghentikan pembangunan pembangkit batu bara baru yang saat ini mencapai 9.815 megawatt (MW), terbesar ketiga di dunia setelah Cina dan India.

Indonesia juga perlu membatalkan rencana pembakaran batu bara bersama amonia dan biomassa (co-firing), serta menyetop subsidi bahan bakar fosil yang menyentuh 2 persen dari total produk domestik bruto (PDB) 2022.

CEO We Mean Business Coalition Maria Mendiluce mengatakan, transisi energi dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan bukan lagi perdebatan. Akan tetapi, kondisi ekonomi yang didorong perusahaan-perusahaan yang mengakui energi terbarukan sebagai dasar untuk keunggulan kompetitif jangka panjang, penciptaan lapangan kerja, dan stabilitas harga energi.

"Para pemimpin bisnis sedang berinvestasi ke energi terbarukan dan ingin melakukan lebih banyak lagi. Namun, mereka membutuhkan pemerintah untuk mempercepat perencanaan dan perizinan untuk energi terbarukan, fasilitas penyimpanan energi, dan jaringan listrik," kata Maria dalam pernyataannya, Rabu (23/4/2025).

Sebagian besar eksekutif bisnis di Indonesia juga tidak menginginkan gas alam sebagai solusi transisi sementara. Sebanyak 72 persen mendukung peralihan langsung dari batu bara ke energi terbarukan.

Tak hanya menghindari ketergantungan pada gas, sebanyak 69 persen pelaku usaha percaya transisi ke energi terbarukan dapat mengurangi dampak krisis iklim. Hal ini mengingat Indonesia rentan terhadap dampak perubahan iklim seperti kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan laut.

“Gas alam telah menimbulkan kekacauan dan kerugian. Para pemimpin bisnis sudah cukup melihatnya. Akses ke tenaga terbarukan yang terjangkau kini menjadi syarat penentu bagi jajaran pemimpin perusahaan. Politisi yang gagal beralih dari bahan bakar fosil ke energi terbarukan dalam dekade berikutnya tidak hanya akan kehilangan investasi di masa depan; mereka akan mendorong pelaku bisnis pergi dari negaranya,” kata Senior International Campaigner dari Beyond Fossil Fuels Claire Smith.

Indonesia melalui kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) menargetkan setidaknya 44 persen energi terbarukan dalam pembangkitan listrik nasional 2030. Namun, 55 persen pelaku usaha khawatir soal ketersediaan pendanaan proyek energi terbarukan. Pasalnya, dalam empat tahun terakhir, investasi ke energi surya tercatat cukup kecil dan masih jauh dari 14,4 miliar dolar AS yang dibutuhkan untuk meningkatkan kapasitasnya sesuai target 2025.

Di sisi lain, 76 persen pelaku bisnis percaya peralihan dari batu bara ke energi terbarukan dapat memangkas tagihan listrik perusahaan dan konsumen. Karenanya, 52 persen pelaku usaha mendesak pemerintah untuk menyederhanakan proses perizinan serta 51 persen pelaku usaha mendesak pemerintah mempercepat investasi dalam modernisasi jaringan listrik.

Lebih dari setengah 53 persen respondens juga meminta pemerintah mengambil langkah konkret dalam peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk memanfaatkan peluang kerja dari sektor energi terbarukan. Rencana penambahan kapasitas energi terbarukan sebesar 21 GW hingga 2030 diperkirakan menciptakan 100 ribu lapangan kerja dan menarik investasi hingga 4,3 miliar dolar AS.

“Tekad bisnis untuk membangun sistem energi terbarukan adalah peluang besar bagi negara-negara untuk menarik investasi dan pertumbuhan. Pemerintah dan perusahaan perlu bekerja sama, melakukan peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk memanfaatkan peluang pekerjaan baru,” kata Maria.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement