REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Negosiasi Intergovernmental Negotiating Committee (INC) 5.2 yang akan digelar di Jenewa pada 5 Agustus mendatang menjadi perhatian dunia, terutama setelah pertemuan sebelumnya, INC 5 di Busan tahun lalu, gagal mencapai kesepakatan.
INC diharapkan menghasilkan Perjanjian Plastik Internasional yang mengikat secara hukum. Perjanjian ini merupakan salah satu upaya global untuk mengatasi pencemaran akibat polusi plastik. Pendiri organisasi lingkungan Nexus3, Yuyun Ismawati, menegaskan pentingnya keterlibatan semua negara, termasuk Indonesia, dalam perundingan untuk menghasilkan instrumen hukum internasional yang mengikat.
“Ini bukan masalah Indonesia saja, bukan juga masalah Amerika saja, tapi masalah seluruh dunia karena pencemaran akibat polusi plastik,” ujar Yuyun yang juga menjadi observer di beberapa pertemuan INC sebelumnya, Selasa (22/7/2025).
Yuyun menjelaskan, mandat untuk perjanjian ini dikeluarkan United Nations Environmental Assembly (UNEA) pada sesi kelima (UNEA V) dengan target menghasilkan konvensi yang mengikat secara hukum sebelum akhir 2024. Namun, prosesnya menghadapi sejumlah tantangan.
Ia menyebutkan, dalam UNEA IV dan pertemuan sebelumnya, delegasi Indonesia sempat mengungkapkan kekhawatiran mengenai sulitnya mencapai kesepakatan yang mengikat secara hukum, terutama terkait marine litter dan polusi laut.
“Kalau ngomongin polusi di laut, marine litter, susah ini. Masalahnya harus dari atas. Itu harus dari seluruh siklus hidup plastik, bukan hanya bagian hilir,” katanya.
Yuyun menjelaskan, Indonesia diakui sebagai salah satu negara dengan tingkat polusi plastik yang sangat tinggi, berada di peringkat atas di Asia dan dunia jika mengacu pada kadar plastik di laut dan sungai. Kontribusi Indonesia terhadap polusi plastik laut sudah menjadi sorotan internasional.
Karenanya, keterlibatan serius Indonesia dalam negosiasi sangat penting agar tidak terus menjadi sorotan negatif global. “Kalau Indonesia tidak ikut dalam negosiasi ini dengan serius, kita akan terus disorot. Usaha kita tidak cukup hanya dengan membuat rencana di Indonesia saja,” tambah Yuyun.
Ia menekankan pentingnya sinkronisasi kebijakan nasional dengan langkah global karena limbah plastik yang dihasilkan Indonesia berdampak lintas negara.
Namun, perjalanan negosiasi ini tidak mudah. Beberapa negara produsen plastik dan minyak tidak menginginkan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum dengan alasan ekonomi dan produksi industri, terutama negara-negara Timur Tengah yang dikenal sebagai produsen minyak.
Indonesia, meski bukan penghasil minyak mentah, memiliki industri polimer sebagai bahan baku plastik terbesar di Asia Tenggara. Yuyun mencatat Indonesia memiliki beberapa perusahaan polimer raksasa. Ia menegaskan, perbedaan kepentingan produsen plastik ini menjadi salah satu hambatan utama untuk mencapai perjanjian yang benar-benar mengikat secara internasional.
“Di Busan itu, negara-negara Like-Minded Developing Countries, artinya mereka tidak mau perjanjian yang mengikat secara hukum. Mereka masih ingin terus memproduksi plastik,” jelasnya.
Keterlibatan Indonesia menjadi krusial dalam dinamika ini, apalagi sebagai salah satu negara kontributor polusi plastik laut sekaligus produsen bahan baku plastik.
“Indonesia harus merefleksikan posisinya, apakah mau diatur oleh global atau tidak. Namun, kenyataannya, kita tidak bisa sendiri,” ujar Yuyun.
Menurutnya, negosiasi ini harus melibatkan semua negara agar bisa berdialog terbuka dan mencapai tujuan bersama dalam mengatasi polusi plastik secara menyeluruh. Fokusnya bukan hanya pengelolaan akhir, tetapi pengaturan seluruh siklus hidup plastik, mulai dari produksi, penggunaan, hingga pembuangan.
Dari sisi politik dan diplomasi, proses ini kompleks dan penuh dinamika. Mandat UNEA V menegaskan kebutuhan akan terobosan dalam bentuk perjanjian yang mengikat secara hukum (legal binding), namun di lapangan ada resistensi kuat dari beberapa blok negara tertentu. Hal ini membutuhkan diplomasi yang lebih intensif dan strategi adaptif agar semua pihak terlibat.
Yuyun menegaskan, Indonesia memiliki ambisi menjadi pemimpin kawasan dalam produksi bahan baku plastik. Namun, ambisi itu harus diimbangi dengan tanggung jawab besar terhadap pengelolaan dampak lingkungannya.
“Kalau Indonesia bukan penghasil minyak, tapi penghasil plastik. Indonesia memproduksi polimer. Jadi, mimpi Indonesia adalah menjadi raja plastik di Asia Tenggara, itu ambisinya,” kata Yuyun.