Rabu 07 May 2025 10:00 WIB

Peneliti Rancang Peta Jalan Konservasi Spesies Migrasi di Bentang Laut Sunda Kecil

Tekanan terhadap spesies migrasi makin meningkat.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Foto udara warga menyaksikan seekor hiu tutul (Rhincodon typus) yang terdampar di Pantai Mbah Drajit, Yosowilangun, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (19/10/2024). Berdasarkan keterangan petugas kepolisian setempat, bangkai hiu tutul dengan panjang tujuh meter dan bentang sirip tiga meter tersebut ditemukan oleh nelayan pada Jumat (18/10) malam yang diduga terdampar akibat cuaca ekstrem di perairan itu.
Foto: ANTARA FOTO/Irfan Sumanjaya
Foto udara warga menyaksikan seekor hiu tutul (Rhincodon typus) yang terdampar di Pantai Mbah Drajit, Yosowilangun, Lumajang, Jawa Timur, Sabtu (19/10/2024). Berdasarkan keterangan petugas kepolisian setempat, bangkai hiu tutul dengan panjang tujuh meter dan bentang sirip tiga meter tersebut ditemukan oleh nelayan pada Jumat (18/10) malam yang diduga terdampar akibat cuaca ekstrem di perairan itu.

REPUBLIKA.CO.ID, DILI — Kawasan Bentang Laut Sunda Kecil (BLSK), salah satu hotspot biodiversitas laut dunia, kini menjadi fokus strategi konservasi spesies bermigrasi. Konservasi Indonesia dan Conservation International Timor Leste menggelar lokakarya selama tiga hari mulai 6 Mei 2025 di Dili, guna menyusun peta jalan riset dan konservasi lintas batas.

“Laut Sawu dan Selat Ombai merupakan jalur penting spesies migrasi seperti hiu, pari, mamalia laut, dan penyu. Tapi data kita masih minim soal pola pergerakan mereka,” ujar Iqbal Herwata, Focal Species Conservation Senior Manager Konservasi Indonesia, dalam siaran pers, Selasa (6/5).

Keterbatasan data inilah yang membuat perlindungan habitat penting, koridor migrasi, dan pola musiman spesies laut belum optimal. Padahal, tekanan terhadap spesies migrasi makin meningkat, terutama dari modernisasi perikanan dan penggunaan alat tangkap tidak selektif yang menyebabkan bycatch.

Lokakarya bertajuk “Pemetaan Penelitian dan Identifikasi Kesenjangan Studi Spesies Bermigrasi” di BLSK ini dihadiri 40 peserta dari Indonesia dan Timor Leste, termasuk peneliti, akademisi, LSM, dan pejabat pemerintah. Forum ini mendukung Rencana Aksi Regional 2.0 (RPOA 2.0) yang menitikberatkan pada penguatan kerja sama regional, konservasi kawasan laut, perikanan berkelanjutan, serta mitigasi perubahan iklim.

“Kolaborasi lintas negara sangat penting untuk mengisi celah pengetahuan, menyusun rekomendasi, dan memperkuat ekonomi biru di kawasan ini,” kata Ketut Sarjana Putra, Transboundary Oceans Senior Advisor Konservasi Indonesia.

BLSK juga menjadi perhatian Coral Triangle Initiative (CTI-CFF), kemitraan enam negara yang menangani isu ketahanan pangan, perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati laut. Wakil Direktur Eksekutif CTI-CFF, Christovel Rotinsulu, menyebut BLSK sebagai kawasan prioritas karena konektivitas ekologinya yang vital.

“Wilayah ini mendukung seluruh siklus hidup spesies laut: migrasi, pemijahan, mencari makan, hingga area asuhan,” tegasnya.

Perwakilan dari Timor Leste, Acacio Guterres, menekankan pentingnya penguatan kapasitas nasional dalam riset dan pemantauan spesies migrasi. Sementara itu, Anita Setianingsih dari NCC CTI-CFF Indonesia menyebut forum ini sebagai langkah penting menyatukan inisiatif konservasi yang selama ini tersebar.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement