REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai pengembangan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) skala besar masih menghadapi sejumlah tantangan, di tengah target pemerintah mencapai kapasitas PLTS 17,1 GW dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Analis Ketenagalistrikan dan Energi Terbarukan IESR, Alvin Putra, menyebut tantangan pertama terletak pada mekanisme pengadaan energi terbarukan.
“Evaluasi terbesarnya adalah di mekanisme pengadaannya. Selama ini mekanisme pengadaan energi baru terbarukan (EBT) masih belum memiliki kerangka yang jelas,” kata Alvin dalam media briefing di Jakarta, Selasa (2/9/2025).
Ia menilai meskipun ada perbaikan regulasi, seperti Peraturan Menteri ESDM Nomor 50 Tahun 2017 yang sebelumnya membatasi harga jual listrik, pengadaan di PLN masih menjadi hambatan. Beberapa proyek besar, lanjutnya, dijalankan melalui mekanisme strategic partnership alih-alih tender murni independent power producer (IPP) berdasarkan Perpres Nomor 112 Tahun 2022.
Tantangan kedua muncul pada tahap persiapan proyek. Alvin mencontohkan proyek PLTS di Bali bagian barat yang terkendala akuisisi lahan. Ia menekankan perlunya transparansi dalam perencanaan dan perizinan untuk mencegah penundaan.
“Pemerintah perlu meningkatkan transparansi dalam perencanaan sistem, data, dan perizinan, misalnya melalui aplikasi,” ujar dia.
Selain itu, Alvin menyebut ketidaksesuaian antara target dalam RUPTL dan realisasi tender menjadi persoalan lain. Banyak proyek yang seharusnya beroperasi tidak dilelang sesuai jadwal.
Menurutnya, alasan penundaan seperti isu overcapacity atau kelebihan pasokan listrik di Jawa–Bali sudah tidak relevan lagi.
“Sebenarnya sudah tidak ada alasan lagi untuk menunda-nunda pengembangan PLTS di Indonesia,” ucap Alvin.
IESR mencatat dari total kapasitas PLTS terpasang 916 MW hingga akhir 2024, sebagian besar berasal dari PLTS skala besar. Namun, ada tren baru yang menjanjikan, yakni PLTS terdistribusi seperti PLTS atap dari sektor industri, yang berkontribusi lebih dari 100 MW pada 2024.
Pada kesempatan sama, Direktur Aneka Energi Baru dan Terbarukan Kementerian ESDM, Andriah Feby Misna, mengatakan pemerintah tengah menyusun regulasi pendukung, termasuk revisi Perpres Nomor 112 Tahun 2022 dan aturan tentang PLTS operasi paralel.
Feby mendorong pemerintah daerah berperan aktif dalam pengembangan energi terbarukan, antara lain melalui penyesuaian tata ruang wilayah untuk mendukung investasi PLTS, menjadi mediator dalam isu lahan, mengalokasikan APBD untuk proyek PLTS di fasilitas publik, serta memberikan insentif bagi pengembangan energi bersih.