REPUBLIKA.CO.ID, BELEM -- Greenpeace International bergabung dengan Climate Action Network (CAN)yang beranggotakan lebih dari 1.900 organisasi masyarakat sipil dari seluruh dunia, menolak apa yang disebut “Belém 4x Pledge” atau inisiatif untuk meningkatkan penggunaan biofuel hingga empat kali lipat dalam satu dekade mendatang. Ekspansi biofuel telah terbukti mengancam hutan, pangan, Masyarakat Adat dan komunitas lokal, serta target-target iklim. Biofuel merupakan solusi palsu untuk mengatasi krisis energi dan iklim.
Kepala Kampanye Solusi untuk Hutan Global Greenpeace, Syahrul Fitra, mengatakan, peningkatan biofuel jelas akan mengancam keberadaan dan wilayah Masyarakat Adat, maupun hutan alam tersisa, serta meningkatkan potensi kebakaran hutan dan lahan gambut. Tanpa adanya Belém 4x Pledge ini pun, pemerintah Indonesia sudah berniat mengorbankan hutan untuk proyek-proyek energi seperti biodiesel dan bioetanol.
"Inisiatif Belém 4x Pledge ini hanya akan menjadi legitimasi penghancuran hutan alam dan merampas wilayah Masyarakat Adat di Indonesia atas nama energi hijau, padahal biofuel jelas-jelas merupakan solusi palsu,” katanya.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Refki Saputra, menambahkan, Proyek Strategis Nasional (PSN) kebun tebu dan bioetanol di Merauke adalah salah satu contoh teranyar bagaimana ‘bioenergi’ menghancurkan hutan dan merampas hak-hak Masyarakat Adat. "Menurut perhitungan kami, pembukaan lahan seluas 560.000 hektare vegetasi alami dapat menghasilkan emisi setara dengan 221 juta ton CO2, atau setara 48 juta emisi mobil dalam setahun. Ini jelas sudah cukup membuat target iklim Indonesia yang disampaikan di COP30 Belém menjadi mustahil dicapai," ujar Refki.
Contoh lebih lanjut, menurutnya, adalah area seluas 380.000 hektare di Kabupaten Merauke dan Boven Digoel yang baru saja ditetapkan oleh Menteri Koordinator Bidang Pangan, Zulkifli Hasan, untuk memproduksi bahan bakar biodiesel B50. Jika dikonversi, lanskap tersebut akan melepaskan emisi setara 162 juta ton gas CO2 ke atmosfer.