REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penelitian International Institute for Environment and Development (IIED) menunjukkan ketimpangan serius dalam distribusi pendanaan iklim global. Dari total 17,4 miliar dolar AS yang disetujui untuk proyek iklim sepanjang 2003–2016, hanya sekitar 1,5 miliar dolar AS atau kurang dari 10 persen yang benar-benar mengalir ke aktivitas di tingkat lokal. Birokrasi menjadi hambatan terbesar bagi komunitas yang justru berada di garis depan krisis iklim.
Masyarakat adat dan komunitas lokal di kampung-kampung selama ini menjaga hutan, laut, dan ekosistem penting, sekaligus menjadi kelompok paling terdampak oleh perubahan iklim. Namun akses mereka terhadap pendanaan iklim tetap paling minim.
“Kami mempercayakan pengelolaan dana kepada masyarakat adat dan membantu prosesnya, mulai dari penulisan proposal sampai menjaga bukti pembayaran untuk akuntabilitas. Jadi bukan mempersulit, tapi mempermudah,” kata CEO Yayasan EcoNusa Bustar Maitar dalam Diskusi Nexus Tiga Krisis Planet tentang Utang Ekologis dan Keadilan Pendanaan Iklim, Selasa (18/11/2025).
Ia mencontohkan pengalaman masyarakat adat di Raja Ampat, Papua, yang memiliki homestay namun kesulitan membangun kembali bangunan yang rusak karena tidak beroperasi selama pandemi Covid-19. Ketiadaan akses pendanaan membuat mereka kehilangan sumber penghidupan untuk kebutuhan sehari-hari hingga biaya sekolah anak.
“Padahal kalau mendapat pendanaan dan bisnisnya berjalan kembali, masyarakat mau mengembalikan dana tersebut. Jadi bukan minta. Dan merekalah yang selama ini menjaga terumbu karang, menjaga hutan di sana,” ujarnya.
Bustar juga menyoroti rencana percepatan pengakuan hutan adat seluas 1,4 juta hektare hingga 2029, seperti yang disampaikan Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni pada pembukaan COP30 di Brasil. Proses verifikasi hutan adat membutuhkan pendanaan besar, sehingga komitmen negara maju untuk menyalurkan dana iklim dinilai krusial.
“Kalau misalnya komitmen dana yang disampaikan negara-negara maju bisa jalan, proses pengakuan ini bisa lebih cepat,” katanya.
Program Manager Dana Nusantara Tanti Budi Suryani menambahkan bahwa pendekatan serupa telah dilakukan lembaganya kepada mitra-mitra utama selama dua tahun terakhir. Dana Nusantara telah mendukung 450 inisiatif yang berkaitan dengan perjuangan hak-hak komunitas. “Cara aksesnya mudah, dilandasi saling percaya, dan bentuknya hibah,” ujarnya.
Dana Nusantara didirikan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) untuk mendukung upaya masyarakat adat, petani, nelayan, perempuan, dan generasi muda dalam menghadapi tantangan tenurial serta pengelolaan wilayah dan lingkungan hidup.
Tanti mengenang pengalaman pahit salah satu komunitas di Kalimantan Timur yang dijanjikan pendanaan karbon sekitar Rp40 juta. Setelah masyarakat menjaga hutan adat dan program berjalan lima tahun, dana itu tidak pernah mereka terima. “Persoalannya adalah birokrasi yang panjang,” katanya.
Ia menambahkan, masyarakat adat di Asia mengelola 40 persen lahan, namun hanya sekitar 10 persen wilayah mereka yang diakui secara hukum oleh pemerintah.