REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Upaya menjaga pesisir tak hanya soal menanam pohon, tetapi membangun masa depan yang lebih tahan iklim. Itu pula yang terlihat di Ekowisata Mangrove Cuku Nyinyi, Desa Sidodadi, Pesawaran, Lampung, yang sejak beberapa tahun terakhir tumbuh menjadi model sinergi antara lingkungan dan ekonomi lokal.
Kawasan ini menjadi salah satu lokasi konservasi yang didukung PT Bukit Asam Tbk, anggota Holding Industri Pertambangan MIND ID. Lewat kolaborasi bersama masyarakat, sekitar 30.000 bibit mangrove telah ditanam. Hutan mangrove yang terbentuk diperkirakan mampu menyerap hingga 370.000 kilogram karbon per tahun dan melindungi garis pantai dari ancaman abrasi.
Cuku Nyinyi berdiri di lahan sekitar 10 hektare. Wilayah itu menjadi habitat penting terutama bagi jenis Rhizophora stylosa yang kini difokuskan sebagai spesies konservasi. Namun manfaat konservasi ini tak berhenti pada aspek ekologis saja.
Berkembangnya kawasan menjadi destinasi ekowisata membuka peluang ekonomi baru bagi warga pesisir. Mereka kini memperoleh pendapatan tambahan dari penyewaan perahu, kuliner lokal, hingga pengelolaan fasilitas wisata. Sebagian keluarga yang sebelumnya bertumpu pada hasil laut mulai merasakan alternatif sumber nafkah yang lebih stabil.
Ketua Pengelola Ekowisata Cuku Nyinyi, Andi Sofiyan, bercerita bahwa gerakan ini berawal dari kegelisahan melihat pesisir yang makin terdegradasi. “Berkat kolaborasi yang solid dengan PT Bukit Asam, lahan kritis ini berubah menjadi pusat konservasi yang bukan hanya menyerap karbon, tetapi juga melindungi permukiman warga dari abrasi,” ujarnya.
Konservasi ini juga memulihkan ekosistem perikanan. Mangrove yang tumbuh sehat menjadi nursery ground bagi berbagai biota laut sehingga produktivitas perikanan warga kembali meningkat.
Untuk memastikan keberlanjutan program, masyarakat membangun unit pembibitan mandiri. Selain memenuhi kebutuhan lokal, bibit mangrove juga dikirim ke daerah lain. Hasil penjualan bibit diputar kembali bagi operasional konservasi sehingga tercipta model usaha yang berkelanjutan.
“Kami membuktikan bahwa konservasi mangrove adalah investasi jangka panjang. Ini soal ketahanan iklim, ekosistem pesisir, dan masa depan ekonomi masyarakat,” kata Andi.
Program yang berjalan di Cuku Nyinyi berada dalam jalur yang sama dengan strategi nasional rehabilitasi mangrove. Direktur Rehabilitasi Mangrove Ditjen PDASRH Kementerian LHK, Ristianto Pribadi, menyebut Indonesia telah merehabilitasi lebih dari 165 ribu hektare mangrove. Total luas ekosistem mangrove nasional kini mencapai 3,44 juta hektare atau sekitar 23 persen dari total global.
“Upaya ini bukan hanya menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, tetapi bagian penting strategi menuju FOLU Net Sink 2030,” ujar Ristianto.
Ia menambahkan bahwa kerja sama multipihak, termasuk dukungan perusahaan anggota MIND ID, akan memperkuat pengembangan blue carbon sebagai bagian dari komitmen iklim global.
Konservasi di Cuku Nyinyi memperlihatkan bagaimana kolaborasi masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha mampu menghasilkan dampak nyata: pesisir terlindungi, emisi berkurang, dan ekonomi lokal ikut tumbuh. Ini menjadi contoh bahwa adaptasi iklim bisa berjalan berdampingan dengan pemberdayaan masyarakat.