REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kearifan lokal menjadi pondasi utama masyarakat adat Kasepuhan Pasir Eurih dalam menjaga kelestarian hutan dan memaksimalkan potensi ekonomi karbon. Wawan Riswanto dari Komunitas Pemuda Adat Kasepuhan Pasir Eurih mengatakan, pengelolaan hutan adat yang berlangsung turun-temurun telah membuktikan pelestarian lingkungan dapat berjalan seiring dengan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
“Kasepuhan atau nenek bayang kami telah mewarisi konsep luar biasa dalam pengelolaan hutan,” kata Wawan dalam diskusi FOLU Talks: Dari Hutan Sosial, Menuju Ekonomi Karbon Berkeadilan, Kamis (19/11/2025).
Menurut Wawan, seluruh aktivitas menjaga hutan dilakukan berdasarkan nilai budaya dan kearifan lokal, tidak selalu tertulis dalam aturan formal. Ia menjelaskan wilayah hutan adat terbagi menjadi empat zona dengan fungsi berbeda. Pertama, Hutan Titipan, yakni kawasan lindung yang hanya dimanfaatkan untuk kebutuhan dasar masyarakat. Kedua, Hutan Tutupan, area resapan air yang didominasi pohon-pohon besar seperti picung dan damar.
“Pohon-pohon besar ini menjadi bank karbon alami, asalkan tidak ditebang atau dibakar,” ujarnya.
Zona ketiga adalah Hutan Cawisan, sedangkan zona keempat adalah Hutan Garapan yang dapat dikelola masyarakat untuk kebutuhan pangan dan tanaman produktif. Dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat semakin leluasa mengelola wilayah adat setelah pemerintah mengeluarkan SK pengakuan hutan adat.
“Sekarang tidak ada lagi warga yang harus dikejar-kejar Perhutani hanya untuk mengurus kebun sendiri. Pemerintah sudah hadir memberikan hak masyarakat untuk mengelola,” kata Wawan.
Pemanfaatan lahan garapan turut mendorong peluang ekonomi baru. Selain menanam pohon besar, masyarakat juga mengembangkan tanaman bernilai jual seperti kopi dan memanfaatkan picung yang tidak hanya menjadi penyerap air, tetapi juga memiliki nilai ekonomi.
Di luar nilai ekonomi, masyarakat Kasepuhan Pasir Eurih juga menjaga pengetahuan pengobatan tradisional. Tanaman obat diidentifikasi dan didata, mulai dari tanaman penurun panas hingga obat harian lainnya. Wawan menyebut sistem ini mengurangi ketergantungan warga pada fasilitas kesehatan modern.
“Ada beberapa tanaman obat yang bisa menyembuhkan secara tradisional, sehingga masyarakat tidak harus terburu-buru ke rumah sakit, tetapi dapat mencoba obat tradisional terlebih dahulu,” katanya.
Upaya perlindungan hutan juga diperkuat dengan sistem ronda leuweung atau patroli hutan. Berbeda dari patroli resmi, kegiatan ini dilakukan tanpa bayaran dan menjadi bagian dari kesadaran kolektif menjaga warisan alam. Ronda dilakukan dua minggu sekali oleh petugas adat yang telah ditunjuk. Jika ditemukan pohon besar mati di kawasan tutupan, masyarakat akan mengambil kayu bakar seperlunya dan membawa pulang benih untuk ditanam kembali.
Menurut Wawan, prinsip pengelolaan ini menunjukkan hutan bukan sekadar aset ekologis, tetapi juga ruang hidup masyarakat adat. Karena itu, perlindungan hutan harus berbasis kepercayaan dan tanggung jawab bersama. “Karena ketika berbicara tentang hutan bukan hanya tentang alam, tapi juga kehidupan,” ujarnya.