REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Project Leader Institut Hijau Indonesia (IHI) Syekhoh Sultonah menilai hilirisasi memberi nilai tambah besar bagi perekonomian, tetapi implementasinya kerap tidak sejalan dengan perlindungan lingkungan. Ia menyebut persoalan ekologis dan sosial masih muncul di berbagai daerah tambang yang menjadi sentra hilirisasi.
Ia melihat tujuan awal hilirisasi sangat positif karena mengubah bahan mentah menjadi produk bernilai tinggi serta mendorong kesejahteraan masyarakat. Namun proses yang berlangsung di sejumlah lokasi belum mencerminkan standar perlindungan lingkungan yang memadai.
“Sering kali proses ini tidak sejalan dengan perlindungan lingkungan dan pemberdayaan masyarakat,” kata Syekhoh dalam acara Rembuk Energi dan Hilirisasi 2025, di Jakarta, Rabu (10/12/2025).
Di hadapan peserta diskusi, Syekhoh memaparkan contoh di Morowali dan Halmahera yang mengalami tekanan ekologis akibat aktivitas penambangan. Deforestasi, pengelolaan limbah yang belum optimal, dan kondisi sungai yang keruh menjadi indikator praktik yang tidak berkelanjutan. Padahal regulasi seperti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 dan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 sudah menegaskan perlindungan lingkungan melalui Amdal, pengendalian pencemaran, dan sanksi administratif.
Ia menambahkan sebagian masyarakat di sekitar tambang masih minim informasi terkait aktivitas industri energi di wilayah mereka. Minimnya pengetahuan menyebabkan warga tidak memiliki akses atau kemampuan menyampaikan pengaduan saat terjadi kerusakan lingkungan. Peluang pemberdayaan masyarakat juga belum dimaksimalkan sehingga pelaku usaha lebih memilih tenaga ahli dari luar daerah.
Syekhoh menyoroti munculnya keresahan warga di beberapa wilayah yang menghadapi tumpukan persoalan seperti perluasan tambang, limbah industri, dan tekanan dari perkebunan skala besar. Situasi itu mendorong ketidaknyamanan dan perasaan kehilangan ruang hidup layak.
Ia menjelaskan Institut Hijau Indonesia mencoba menjembatani kekosongan pengetahuan melalui program pendidikan lingkungan. Green Leadership Indonesia dan Green Youth Movement menjadi dua upaya yang menjangkau ribuan pelajar dan anak muda di 36 provinsi. Edukasi tersebut membangun kesadaran, memperkuat daya tawar masyarakat, dan mendorong partisipasi yang lebih seimbang di daerah terdampak industri energi.
Ia menambahkan penguatan kapasitas anak muda menjadi kunci agar proses hilirisasi berjalan selaras dengan keberlanjutan. Keterlibatan generasi baru dinilai penting untuk memastikan kebijakan energi tidak hanya berorientasi pada industri, tetapi juga melindungi ekosistem dan ruang hidup masyarakat.
Hilirisasi tetap menjadi strategi ekonomi penting, namun manfaatnya akan optimal jika berjalan berdampingan dengan komitmen lingkungan yang kuat. Keseimbangan keduanya menentukan keberlanjutan pembangunan energi Indonesia ke depan.