REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kathleen Maxwell telah tinggal di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat, selama lebih dari 20 tahun. Tetapi, musim panas tahun ini adalah pertama kalinya ia merasa takut karena suhu harian yang melonjak hingga 40 derajat celsius dan bertahan selama 31 hari berturut-turut yang memecahkan rekor.
"Di sini selalu sangat panas, tapi tidak seperti musim panas ini. Saya benar-benar takut. Bagaimana jika ini tidak berakhir dan akan seperti apa jadinya?” kata Maxwell seperti dilansir AP, Selasa (26/9/2023).
Maxwell menyalahkan perubahan iklim, dan dia tidak sendirian. Jajak pendapat terbaru dari The Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research mengindikasikan bahwa cuaca ekstrem, termasuk gelombang panas ekstrem saat musim panas, semakin memperkuat keyakinan warga bahwa mereka telah merasakan dampak perubahan iklim.
Sekitar 9 dari 10 orang Amerika (87 persen) mengatakan bahwa mereka telah mengalami setidaknya satu kejadian cuaca ekstrem dalam lima tahun terakhir, termasuk kekeringan, panas ekstrem, badai besar, kebakaran hutan, atau banjir. Lalu sekitar tiga perempat dari mereka percaya bahwa perubahan iklim adalah penyebabnya.
Secara keseluruhan, 64 persen orang dewasa AS mengatakan bahwa mereka baru-baru ini mengalami cuaca ekstrem dan mereka percaya bahwa hal tersebut setidaknya disebabkan oleh perubahan iklim. Sekitar 65 persen mengatakan bahwa perubahan iklim akan atau telah berdampak besar dalam kehidupan mereka.
Suhu panas berlebih pada musim panas ini mungkin menjadi faktor utama, di mana sekitar tiga perempat orang Amerika (74 persen) mengaku telah terpengaruh oleh cuaca yang sangat panas atau gelombang panas yang ekstrem dalam lima tahun terakhir. Dari jumlah tersebut, 92 persen mengatakan bahwa mereka mengalami hal tersebut dalam beberapa bulan terakhir.
Menurut Organisasi Meteorologi Dunia dan Layanan Iklim Eropa, Copernicus, musim panas ini memang merupakan musim panas terpanas yang pernah diukur di Belahan Bumi Utara,
Anthony Leiserowitz, direktur Yale Program on Climate Change Communication, mengatakan bahwa para peneliti telah melakukan survei dua kali setahun terhadap orang Amerika selama 15 tahun, dan sejak 2016 mereka melihat indikasi bahwa pengalaman orang-orang dengan cuaca ekstrem mempengaruhi pandangan mereka terhadap perubahan iklim. "Sinyal tersebut semakin kuat dari tahun ke tahun seiring dengan kondisi yang semakin memburuk," kata Leiserowitz.
Namun, ia juga percaya bahwa pemberitaan media mengenai perubahan iklim telah berubah secara signifikan, dan masyarakat telah menafsirkan informasi tersebut dengan cara yang lebih ilmiah dibandingkan satu dekade yang lalu.
Namun demikian, tak sedikit warga yang masih tidak percaya dengan krisis iklim dan meyakini bahwa gelombang panas hanyalah settingan elite global. Salah satu warga yang percaya hal tersebut misalnya Bruce Alvord (76 tahun) dari Hagerstown, Maryland AS.
“Menurut saya, ini adalah ulah sekelompok politisi yang memiliki agenda mereka sendiri. Saya tidak perlu mengubah perilaku saya. Saya masih menggunakan bensin premium, saya tidak peduli,” kata dia.
Jeremiah Bohr, seorang profesor sosiologi di University of Wisconsin-Oshkosh yang mempelajari komunikasi perubahan iklim, mengatakan bahwa bukti ilmiah terkait krisis iklim tidak akan mengubah mindset seseorang. “Namun, orang mungkin akan terpengaruh jika orang atau lembaga yang sudah mereka percayai menjadi yakin dan menyebarkan berita tersebut,” kata Bohr.