Rabu 25 Oct 2023 00:31 WIB

Kenaikan Permukaan Air Laut Ancam Kehidupan di Pesisir

Ekosistem pesisir menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kenaikan permukaan air laut 5-7 mm mengancam kehidupan di pesisir, seperti hutan bakau dan lahan basah.
Foto: Anadolu Agency
Kenaikan permukaan air laut 5-7 mm mengancam kehidupan di pesisir, seperti hutan bakau dan lahan basah.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi menemukan bahwa kenaikan permukaan air laut sekitar 5-7 milimeter per tahun sudah bisa mengancam lanskap pesisir seperti hutan bakau dan lahan basah. Laporan yang dipublikasikan di Nature tersebut, juga memperingatkan ancaman kerusakan habitat pesisir secara luas yang mungkin terjadi pada tingkat pemanasan di atas 1,5 derajat Celcius.

Ekosistem pesisir telah lama dikenal sebagai ekosistem yang sangat penting bagi kesejahteraan dan penghidupan jutaan orang, dengan melindungi garis pantai, menyediakan tempat berkembang biak yang penting bagi kehidupan laut, dan menyimpan karbon dioksida (CO2).

Baca Juga

Permukaan air di lautan rata-rata naik 3,6 milimeter per tahun dari tahun 2006-2015, namun hal ini sangat bervariasi di seluruh dunia. Pada tahun 2023, permukaan laut rata-rata global adalah 101,2 mm di atas permukaan tahun 1993, yang menjadikannya sebagai rata-rata tahunan tertinggi dalam catatan satelit (1993-sekarang).

Badan Kelautan dan Atmosfer Nasional AS juga mengatakan bahwa permukaan laut rata-rata global telah meningkat sekitar 21-24 centimeter sejak tahun 1880. Kenaikan permukaan air ini sebagian besar disebabkan oleh kombinasi air yang mencair dari gletser dan lapisan es, serta pemuaian air laut yang terjadi karena pemanasan.

Profesor Neil Saintilan, spesialis lahan basah pesisir dari Macquarie University dan peneliti utama analisis Nature, mengatakan bahwa sekarang ada kesadaran yang lebih besar tentang laju kenaikan permukaan air laut yang secara signifikan akan mempengaruhi zona pesisir di seluruh dunia.

“Apa yang kita ketahui dari catatan itu adalah begitu air laut mencapai di atas 5 mm per tahun, atau di tempat-tempat seperti Indo-Pasifik, 7 milimeter per tahun, sangat kecil kemungkinannya hutan bakau akan bertahan. Laju kenaikan permukaan laut pada akhirnya akan menghabiskan kapasitas mereka untuk mengimbangi (tingkat lumpur yang bertambah) dan mereka akan mulai rusak," kata Saintilan seperti dilansir Cosmos Magazine, Rabu (25/10/2023).

Saintilan mengatakan bahwa hutan bakau meluas secara masif di seluruh dunia sekitar 8.000 tahun yang lalu, ketika permukaan air laut mulai turun. Pada 8.000 tahun yang lalu, laju kenaikan permukaan laut sekitar 7 milimeter per tahun dan terus menurun. Laju tersebut tampaknya memicu perluasan ekosistem bakau hingga ke daerah tropis, seolah-olah itulah titik di mana ekosistem tersebut akhirnya mampu bertahan melawan kenaikan permukaan laut.

Sebaliknya, kenaikan permukaan air laut pada akhir periode glasial terakhir berkorelasi dengan sedikitnya jumlah mangrove yang bertahan.

"Ada sejumlah jasa ekosistem yang sangat penting yang disediakan oleh mangrove. Yang paling dikenal orang adalah peran yang mereka mainkan dalam perikanan. Tanaman bakau menyediakan habitat, tempat pembibitan, terutama untuk ikan-ikan kecil,” kata Saintilan.

Ikan juga memakan produk dari lingkungan mangrove. Pada waktu-waktu tertentu dalam sebulan, terutama saat air pasang, kepiting akan menyelaraskan pemijahan (proses pengeluaran telur) mereka. Walhasil, di muara manapun akan terlihat konsentrasi larva tertinggi, dan itu merupakan kesempatan yang sangat penting bagi ikan-ikan muda untuk makan.

"Lingkungan mangrove juga memberikan perlindungan pantai: gelombang yang akan datang ke hutan bakau dari badai atau tsunami kecil mungkin akan hilang saat mereka bergerak melalui beberapa kilometer hutan bakau. Hal ini melindungi garis pantai yang lembut di sekitar daerah tropis dari erosi,” kata Saintilan.

Bakau juga merupakan penyerap karbon yang signifikan. Bakau mengeluarkan karbon dioksida dari atmosfer yang terkunci selama ribuan tahun di bawah tanah, atau disebut sebagai karbon biru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement