REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bangladesh mengalami lonjakan pernikahan anak sebesar 39 persen di wilayah pesisir yang rawan bencana dan rentan akibat krisis iklim berdasarkan laporan terbaru organisasi bantuan kemanusiaan International Rescue Committee (IRC). Pada Rabu IRC mengungkapkan bencana yang disebabkan oleh krisis iklim telah memaksa masyarakat pesisir yang menghadapi kemiskinan ekstrem untuk bermigrasi.
Ini menjadi faktor penyebab meningkatnya kekerasan berbasis gender, terbatasnya akses terhadap pendidikan, dan meningkatnya tantangan ketahanan pangan. Selama dua dekade terakhir, peningkatan pesat pernikahan anak ternyata dapat dikaitkan langsung dengan peningkatan bencana seperti banjir dan angin topan.
Separuh dari seluruh anak perempuan di Bangladesh kini menikah sebelum berusia 18 tahun dan setidaknya 22 persen dari mereka menikah sebelum usia 15 tahun. Usia sah untuk menikah bagi perempuan adalah 18 tahun di Bangladesh dan pernikahan anak dilarang berdasarkan Undang-Undang Pembatasan Pernikahan Anak Tahun 2017.
“Namun, situasi ini lebih tidak stabil bagi anak perempuan yang tinggal di wilayah pesisir. Mereka menghadapi kerawanan pangan dan kemiskinan, pola hujan yang tidak teratur, peningkatan suhu, dan meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana,” kata Direktur IRC Bangladesh, Hasina Rahman, dilansir Independent, Senin (11/12/2023).
Krisis yang berlapis ini, lanjut dia, harus diatasi dengan meningkatkan akses terhadap pendidikan bagi anak perempuan di komunitas yang rentan terhadap iklim. Setidaknya 86 persen anak perempuan menghadapi peningkatan beban kerja pascabencana alam sehingga mengurangi waktu belajar mereka.
“Selain itu, kemiskinan ekstrem di wilayah ini memengaruhi tingkat partisipasi anak di lembaga pendidikan. Kurangnya jumlah guru yang berkualitas, buruknya jaringan transportasi, dan penggunaan sekolah sebagai tempat berlindung saat terjadi bencana mengganggu layanan pendidikan,” ujarnya.
IRC telah meminta pemerintahan Sheikh Hasina di Bangladesh untuk membentuk mekanisme pelaporan formal atas pelecehan dan eksploitasi anak serta pembentukan ruang ramah anak yang dapat diakses oleh masyarakat. Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Asia Selatan adalah rumah bagi jumlah pengantin anak tertinggi di dunia karena meningkatnya tekanan keuangan dan penutupan sekolah.
Sebelumnya, laporan pada bulan Oktober oleh Save the Children menemukan hampir 40 juta anak perempuan berisiko dipaksa menikah di bawah umur pada tahun 2050. Meskipun diperkirakan terdapat 29,9 juta remaja perempuan yang tinggal di negara-negara dengan risiko pernikahan dini dan bencana iklim yang mengubah hidup paling tinggi, jumlah ini diperkirakan akan meningkat sekitar 33 persen.