Senin 25 Dec 2023 12:50 WIB

Industri Energi Dinilai Abai Terhadap Isu Perubahan Iklim di Media Sosial

Industri bahan bakar fosil dinilai jarang tanggapi isu iklim di media sosial.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Industri bahan bakar fosil jarang menanggapi diskusi online tentang cuaca ekstrem seperti badai, kekeringan, suhu ekstrem, dan kebakaran hutan.
Foto: www.freepik.com
Industri bahan bakar fosil jarang menanggapi diskusi online tentang cuaca ekstrem seperti badai, kekeringan, suhu ekstrem, dan kebakaran hutan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perusahaan-perusahaan bahan bakar fosil terkemuka dunia cenderung membanggakan upaya keberlanjutan mereka sendiri, dan kerap abai terhadap isu-isu cuaca ekstrem di media sosial. Hal ini merujuk pada sebuah penelitian baru dalam seri Nature's npj | Climate Action.

Lebih dari setengah juta unggahan media sosial di X (sebelumnya Twitter) dipelajari dengan menggunakan analisis retorika bahasa yang dibantu kecerdasan buatan, untuk mengungkap bagaimana perusahaan bahan bakar fosil, organisasi antarpemerintah (IGO), dan lembaga swadaya masyarakat (NGO), berinteraksi secara daring tentang perubahan iklim, termasuk tanggapan terhadap cuaca ekstrem akibat perubahan iklim.

Baca Juga

Para peneliti dari University of Cambridge, Harvard University, dan California Institute of Technology menemukan bahwa industri bahan bakar fosil jarang menanggapi diskusi online tentang cuaca ekstrem seperti badai, kekeringan, suhu ekstrem, dan kebakaran hutan.

Sebaliknya, perusahaan bahan bakar fosil lebih cenderung menanggapi unggahan LSM dan IGO tentang dukungan industri minyak untuk Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM), serta pujian untuk inisiatif keberlanjutan perusahaan.

Selain itu, perusahaan bahan bakar fosil juga lebih cenderung memposting tentang tindakan apa pun yang diambil untuk mengurangi polusi udara dengan nada positif, sementara memposting lebih banyak hal negatif tentang pemrotes bayaran dan tuduhan palus. 

"Ketika perusahaan bahan bakar fosil memilih-milih informasi iklim mana yang akan mereka tanggapi, hal ini dapat membiaskan cara berpikir audiens mereka tentang perubahan iklim," kata salah satu penulis utama studi dari University of Cambridge, Ramit Debnath. 

"Informasi iklim yang salah seperti ini dapat memicu penyangkalan terhadap perubahan iklim dan menunda aksi iklim," kata Debnath seperti dilansir Phys, Senin (25/12/2023).

Menurut perkiraan dari badan PBB yang mengkaji ilmu pengetahuan terkait perubahan iklim, Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC), tindakan segera diperlukan untuk membatasi kenaikan suhu global rata-rata dari masa pra-industri hingga di bawah 1,5 derajat Celcius. Ini dinilai sebagai titik kritis bagi peningkatan peristiwa cuaca yang membawa bencana, seperti panas ekstrem, badai, kekeringan, dan banjir.

Laporan IPCC terbaru telah mencatat peningkatan frekuensi cuaca ekstrem yang disebabkan oleh perubahan iklim. Musim panas ini (2023) terjadi gelombang panas dan kebakaran hutan yang memecahkan rekor di Amerika Utara, Eropa, dan Asia, sementara wilayah Afrika Utara mengalami bencana banjir.

IPCC juga melaporkan adanya misinformasi yang merajalela di media sosial sebagai penghalang yang signifikan untuk mengatasi krisis iklim.

Misinformasi dapat berupa penekanan pada interpretasi yang menguntungkan terhadap suatu peristiwa atau data atau pembingkaian ulang percakapan agar sesuai dengan narasi yang diinginkan, yang keduanya menciptakan pandangan yang tidak imbang tentang perubahan iklim.

"Sebelum kita dapat mulai mengatasi kampanye misinformasi ini, pertama-tama kita harus memahami bagaimana kampanye tersebut dirancang dan disebarkan," kata Debnath. 

"Dengan menggunakan sejumlah besar data di media sosial, kami dapat melacak bagaimana postingan berubah dari waktu ke waktu dan menggunakan perangkat kecerdasan buatan (AI) baru yang canggih untuk menemukan pola yang menarik," kata Debnath.

Para peneliti menganalisis unggahan pengguna X dari tahun 2014-2021 dengan menggunakan pemodelan topik berbasis pembelajaran mesin (AI) untuk menyelidiki bagaimana perusahaan bahan bakar fosil, IGO, dan NGO berinteraksi secara online untuk membentuk percakapan tentang perubahan iklim.

Mereka mengukur kekuatan interaksi online ini dengan menggunakan metode yang digunakan untuk memodelkan Macroeconomic Shocks dari waktu ke waktu untuk menganalisis 30 topik percakapan. Topik-topik tersebut termasuk topik-topik seperti keberlanjutan perusahaan, energi terbarukan, aksi iklim, dan melindungi keanekaragaman hayati.

Di antara hampir 700 ribu unggahan di X, analisis mereka menemukan pola yang jelas di setiap pemangku kepentingan dalam hal waktu unggahan mereka tentang perubahan iklim relatif terhadap satu sama lain dan terhadap peristiwa-peristiwa lingkungan.

Perusahaan bahan bakar fosil jarang melakukan perubahan pada komunikasi online mereka sebagai akibat dari cuaca ekstrem. Sementara itu, IGO lebih cenderung memposting tentang iklan perusahaan gas setelah terjadinya cuaca ekstrem tertentu, seperti kebakaran hutan dan kekeringan.

Selain itu, perusahaan bahan bakar fosil cenderung tidak menanggapi topik aksi iklim ketika diminta oleh IGO dan NGO. Namun, mereka jauh lebih reaktif terhadap topik-topik seperti keberlanjutan perusahaan (sekitar 9 persen lebih mungkin jika diminta oleh NGO) dan dukungan industri untuk STEM (sekitar 7 persen lebih mungkin jika diminta oleh NGO).

Makalah ini diakhiri dengan peringatan tentang peran komunikasi tingkat industri dalam membentuk dan memecah belah opini publik ke dalam berbagai aliran pandangan yang salah.

"Media sosial memberikan kekuatan kepada organisasi untuk menyampaikan narasi yang dibangun dengan hati-hati yang bergema di sekitar audiens mereka," kata Debnath.

"Menekankan topik greenwashing secara berlebihan sementara menghindari topik lainnya adalah alat bagi perusahaan bahan bakar fosil untuk 'membingkai ulang' perubahan iklim dan menghindari pertanggungjawaban," kata dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement