Jumat 05 Apr 2024 14:13 WIB

Pakar: Masa Depan yang Berkelanjutan Dimulai dari Permukaan Tanah

Kemajuan dibidang pembangunan berdampak negatif terhadap lahan.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Kemajuan di bidang pembangunan lainnya dapat berdampak negatif terhadap lahan.
Foto: www.freepik.com
Kemajuan di bidang pembangunan lainnya dapat berdampak negatif terhadap lahan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengadopsi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG) sebagai ajakan untuk bertindak dalam kemitraan global. Pada tahun 2023, tampaknya kemajuan kita masih jauh dari memuaskan dalam mencapai tujuan-tujuan ini.

Kemunduran akibat bencana alam, kenaikan biaya, konflik bersenjata, dan pandemi COVID-19 bahkan telah membalikkan kemajuan yang telah dicapai pada beberapa tujuan.

Baca Juga

Laporan PBB 2023 menyimpulkan bahwa aspek keberlanjutan (lingkungan, ekonomi, dan sosial) harus dipertimbangkan secara keseluruhan untuk mewujudkan pemulihan yang berarti. Sains diidentifikasi sebagai kendaraan untuk perubahan tersebut. Namun sains tersebut harus bersifat multidisiplin, diproduksi secara adil dan inklusif, dibagikan secara terbuka, dipercaya dan diterima secara luas, serta relevan bagi masyarakat.

Laporan tersebut juga menunjukkan bahwa kemajuan di bidang pembangunan lainnya dapat berdampak negatif terhadap lahan. Selain itu, ekosistem darat juga menghadapi risiko yang lebih besar akibat perubahan iklim, tanah longsor, gempa bumi, dan polutan lingkungan.

“Karenanya, guna meningkatkan kualitas hidup bagi generasi sekarang dan mendatang, kita harus melindungi, memulihkan, dan mempromosikan lahan yang berkelanjutan,” kata Profesor, Teknik Geoteknik dan GeoLingkungan di University of Regina, Shahid Azam, seperti dilansir Phys, Jumat (5/4/2024).

Untuk mengelola lingkungan, kata Azam, dunia perlu memahami hubungan antara atmosfer, tanah, dan polutan pada skala lokal dan regional. Permukaan tanah, tidak termasuk permukaan yang dibuat seperti beton, seperti membran yang memungkinkan migrasi dan retensi udara, air, kontaminan, dan panas.

Setiap jenis aktivitas pembangunan manusia termasuk ekstraksi komoditas, pembangunan jalan dan fasilitas perkotaan, praktik pertanian, dan bahkan penampungan limbah pertambangan dan kota dipengaruhi oleh sifat tanah yang berpori.

Azam mengatakan, hilangnya air tanah menyebabkan penurunan permukaan tanah. Di sisi lain, curah hujan menyebabkan tanah longsor karena tekanan air yang berlebihan merusak struktur tanah. Selain itu, cuaca musiman menyebabkan siklus basah dan kering serta siklus pembekuan dan pencairan yang menghasilkan pergeseran tanah yang berulang.

“Penting bagi kita sebagai ilmuwan dan pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan geologi, iklim, dan lingkungan untuk membantu memprediksi perilaku tanah di lokasi tertentu,” kata dia.

Sebagai contoh, Kanada memiliki daratan terbesar kedua di planet ini dan merupakan rumah bagi berbagai macam tanah termasuk tanah liat, loess, gambut organik, lapisan glasial, akuifer, dan bahkan padang pasir serta lapisan es. Menurut Azam, berbagai macam kondisi tanah ini menghadirkan tantangan di setiap lokasi.

Selama beberapa dekade, para insinyur telah menjawab tantangan ini melalui pengembangan metode untuk menghindari kegagalan tanah pada proyek-proyek besa, mulai dari Downie Slide di British Columbia hingga Confederation Bridge yang menghubungkan New Brunswick dengan Prince Edward Island.

“Keberhasilan proyek-proyek besar dan panjang secara langsung merupakan hasil dari kesediaan para perencana, ilmuwan dan pembuat kebijakan untuk bekerja di berbagai disiplin ilmu, mengakomodasi pengalaman regional, berbagi informasi secara luas, dan menggunakan observasi untuk terus meningkatkan. Secara keseluruhan, hal ini telah menghasilkan data empiris yang luas,” kata Azam.

Langkah logis selanjutnya adalah mengembangkan kerangka kerja ilmiah yang dapat menangani interaksi atmosfer-tanah-kontaminan yang kompleks. Azam mengatakan bahwa konteks seperti ini dapat diterapkan pada hampir semua situasi yang melibatkan berbagai jenis cairan dan partikel padat.

Ambil contoh kasus fasilitas penyimpanan limbah tambang. Fasilitas-fasilitas ini mengandung limbah slurry (sisa padatan dalam cairan yang diproses) yang sering kali disimpan selama beberapa dekade setelah tambang yang semula dilayaninya ditutup. Pengalaman jebolnya bendungan di Mount Polley dan Brumadinho, Brazil, menimbulkan kekhawatiran publik yang akut atas pembuangan limbah tambang secara konvensional.

“Pemahaman yang jelas tentang antarmuka antara partikel tanah dan cairan yang tercemar dalam kondisi basah, kering, dan beku akan memberikan landasan untuk merancang metode baru, guna mengurangi jejak yang dibutuhkan proyek bangunan dan risiko kegagalan. Solusi spesifik serupa dapat dikembangkan untuk mengurangi dampak garam pembekuan di jalan, pupuk di lahan pertanian, dan tumpahan minyak di darat,” kata Azam.

Demikian pula, desain infrastruktur perkotaan dalam kaitannya dengan perubahan iklim dan pengelolaan lahan pertanian sangat penting untuk memulihkan kepercayaan masyarakat sekaligus memastikan kita memenuhi target emisi nol bersih pada tahun 2050. Solusi ilmiah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengatasi masalah lingkungan secara bersamaan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement