Jumat 02 Aug 2024 22:30 WIB

Teknologi Drainase Pratambang dan VAM Solusi Reduksi Emisi Metana di Sektor Batu Bara

IEA memperkirakan 26 persen emisi metana dapat diturunkan secara teknis.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/2/2024).
Foto: ANTARA FOTO/Jojon
Foto udara areal pasca tambang nikel yang sebagian telah di reklamasi di Kecamatan Motui, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara, Kamis (8/2/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lembaga think-tank global, Ember, dalam laporannya yang berjudul "Risiko Mengabaikan Emisi Metana Di Pertambangan Batu Bara" mengatakan, sebagian besar perusahaan batu bara besar di Indonesia tidak memasukan emisi gas metana dalam laporan tahun dan laporan keberlanjutannya. Menurut Ember, pengukuran dan pelaporan emisi metana dapat membantu perusahaan memahami skala masalah, menilai risiko lingkungan dan investasi, serta mendukung pengembangan strategi mitigasi yang efektif.

Dalam laporan yang dirilis Senin (29/7/2024) itu, Ember mengatakan di antara semua gas rumah kaca yang dilepaskan dari rantai pasokan batu bara, gas metana tambang batu bara dianggap sebagai emisi utama karena memiliki efek pemanasan 30x lebih besar dibandingkan karbon dioksida. Ember mengatakan dalam jangka panjang, perusahaan batu bara harus melakukan diversifikasi bisnis dan mengurangi produksi batu bara secara bertahap.

Hal ini sejalan dengan proyeksi permintaan global yang diperkirakan akan terus menurun, risiko investasi batu bara, dan peluang bisnis di sektor energi bersih."Dalam jangka pendek, perusahaan batu bara harus mulai menerapkan langkah-langkah mitigasi untuk menurunkan emisi metana," kata Ember dalam laporan tersebut.

Ember mencatat  Badan Energi Internasional (IEA) memperkirakan 26 persen emisi gas metana tambang batu bara Indonesia dapat diturunkan secara teknis, menggunakan teknologi yang sudah ada seperti drainase pratambang dan ventilasi udara metana (Ventilation Air Methane/VAM).

Ember menjelaskan pengelolaan pratambang dilakukan dengan mengebor lubang dalam lapisan batu bara untuk mengekstraksi metana sebelum penambangan dimulai. VAM mengacu pada metana yang diekstraksi dari sistem ventilasi untuk menurunkan konsentrasi metana di tambang batu bara bawah tanah. Metana yang diekstraksi kemudian akan ditangkap dan digunakan, atau dihancurkan melalui oksidasi.

Ember mengatakan perusahaan batu bara harus secara aktif menjajaki peluang untuk menerapkan pengelolaan pratambang di seluruh aset penambangan batu bara terbuka (open-cut mines). Teknologi tersebut telah digunakan secara luas di Cina, AS, dan Australia, dengan dukungan investasi awal dari Mekanisme Pembangunan Bersih (CDM) pada akhir tahun 2000-an, serta melalui dukungan pemerintah dan regulasi pasar karbon.

"Upaya ini juga tidak terbatas pada tambang bawah tanah. Di Australia, tambang Curragh milik Conorado telah menerapkan sistem drainase pratambang yang mampu menangkap gas limbahnya secara menguntungkan dan menjualnya untuk pembangkitan listrik," kata Ember dalam laporan tersebut.

Ember mencatat Conorado juga telah berhasil menguji coba penggantian bahan bakar diesel dalam armada truknya dengan gas, yang mengarah pada penurunan emisi dan penghematan biaya bahan bakar yang signifikan. Namun, tambang batu bara bawah tanah memiliki lebih banyak peluang untuk diturunkan emisinya. Metode drainase pratambang juga berpeluang digabungkan dengan mitigasi VAM.

Pada tahun 2012, sebuah konsorsium yang melibatkan Bayan Resources dan Enel Trade SpA mengajukan desain proyek CDM untuk proyek drainase pratambang dan mitigasi VAM di tambang Wahana Baratama, Kalimantan Selatan. Namun, kata Ember, belum ada informasi mengenai kelanjutan proyek tersebut. Kendati demikian, kelayakan teknis teknologi mitigasi VAM telah terbukti dalam berbagai pertambangan di seluruh dunia selama 25 tahun terakhir. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement