REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia dinilai memiliki modal yang kuat untuk melanjutkan transisi energi, utamanya pensiun dini PLTU, baik dari sisi hukum maupun ekonomi. Sejumlah regulasi telah menjamin pelaksanaan pensiun dini sekaligus memitigasi risiko keuangan yang mungkin muncul.
Namun pemerintah juga banyak memberikan fasilitas kepada sektor energi fosil, termasuk batu bara. Hal ini dianggap menghambat pengembangan energi terbarukan di Indonesia.
Peneliti Kebijakan Energi International Institute for Sustainable Development (IISD), Martha Maulidia mengatakan, dengan sekian banyak investasi dan fasilitas yang diberikan, pemerintah menjadi enggan untuk mengakhiri PLTU mengingat banyaknya dana yang telah mengalir ke sana.
“Akhirnya kita terkunci pada situasi carbon lock-in. Karena sudah sayang mengucurkan uang ke sana, bukannya disetop, kita malah terus bakar duit ke sana. Subsidi ke energi fosil perlu dicabut dulu, baru kita terapkan pajak karbon, agar uang negara tidak sekadar berpindah dari kantong kanan ke kantong kiri,” kata Martha dalam diskusi bertajuk Masa Depan Pensiun Dini PLTU di Bawah Pemerintah Presiden Prabowo, Jumat (6/2/2025).
Menurutnya, pemerintah perlu melakukan transformasi untuk merealisasikan transisi energi, utamanya agar pertumbuhan energi terbarukan dapat naik signifikan. Subsidi dan kompensasi listrik pada 2022 mencapai lebih dari Rp 500 triliun. Martha menambahkan jika Indonesia dapat mengurangi ketergantungan pada energi fosil, besaran subsidi dan kompensasi energi akan dapat dipangkas dan direalokasikan ke sektor lain yang lebih penting.
“Kalau Indonesia menjalankan business as usual, masih banyak kepentingan di Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), artinya bauran energi terbarukan tidak akan naik signifikan. Selain itu, juga perlu ada perubahan kebijakan di industri, fiskal, keuangan, misalnya untuk menyiasati mahalnya cost of fund proyek energi terbarukan. Tidak mungkin kita berharap ada hasil berbeda dari usaha yang sama saja,” ungkap Martha.
Sementara itu Peneliti Hukum Centre of Economic and Law Studies (CELIOS), Muhamad Saleh mencatat setidaknya ada empat kebijakan yang dapat dijadikan modal kuat transisi energi dan penutupan PLTU. Pertama, Peraturan Presiden No 112/2022 secara jelas telah mengatur jenis dan kriteria PLTU yang musti dimatikan, bahkan juga mendorong pemerintah mewujudkan berbagai skema pembiayaan yang dibutuhkan untuk proses penutupan.
Kedua, juga merupakan regulasi terbaru, yaitu Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No 5/20225 yang mengatur adanya platform transisi energi sebagai alat fiskal yang mendukung percepatan penutupan PLTU dan pengakhiran Perjanjian Jual Beli Listrik (PJBL). Artinya, ada penjaminan dari Kementerian Keuangan ketika ada risiko kegagalan bisnis PLN dan alokasi anggaran dari penutupan PLTU.
Dua kebijakan lainnya yakni Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL). Meski tak secara eksplisit menyebut PLTU mana yang harus ditutup, RUKN mempertegas amanat Kebijakan Energi Nasional (KEN) untuk mengakhiri operasi PLTU dan mendorong pengembangan energi terbarukan. RUPTL juga secara tegas mendorong diversifikasi jenis pembangkit listrik.
“Keempat regulasi ini cukup untuk memberi dasar bagi pemerintah melakukan transisi energi. Hanya ada satu amanat Perpres 112/2022 yang belum dijalankan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yaitu peta jalan pensiun dini PLTU yang mendetailkan kriteria serta skema pembiayaannya. Ini sangat krusial, makanya kita seharusnya mendorong Kementerian ESDM untuk segera mengeluarkan peta jalan. Saat ini, hanya itu (peta jalan) hambatannya,” tegas Saleh.