REPUBLIKA.CO.ID, SAN FRANCISCO -- Laporan terbaru mengungkapkan kenaikan kapasitas batu bara di seluruh dunia tahun lalu paling rendah selama dua dekade terakhir. Akan tetapi, penggunaan bahan bakar fosil di Cina dan India masih tinggi.
Saat ini sepertiga listrik dunia dihasilkan dari batu bara. Padahal, mengakhiri penggunaan batu bara sangat penting untuk mencapai target iklim internasional.
Berdasarkan laporan dari organisasi-organisasi yang fokus pada energi dan lingkungan, tahun lalu kapasitas batu bara baru hanya bertambah 44 gigawatt listrik di seluruh dunia. Jumlah itu terendah sejak 2004.
"Tahun lalu menjadi pertanda hal-hal yang akan datang bagi batu bara seiring transisi energi bersih bergerak maju dengan kecepatan penuh," kata Christine Shearer dari Global Energy Monitor yang turut menulis laporan tersebut seperti dikutip dari Japan Today, Senin (7/4/2025).
Namun, pembangunan kapasitas batu bara yang baru melampaui penutupan pembangkit listrik batu bara. Artinya penggunaan batu bara tetap naik.
Pembangunan pembangkit listrik batu bara Cina tahun lalu tembus rekor. Begitu pula dengan pembangunan pembangkit listrik tenaga batu bara di India. "Masih banyak pekerjaan yang perlu dilakukan untuk menghentikan penggunaan batu bara sesuai dengan Perjanjian Paris, terutama di negara-negara terkaya di dunia," kata Shearer.
Badan Energi Internasional (IEA) mengatakan permintaan batu bara global akan stabil antara 2024 sampai 2027, dengan penurunan penggunaan batu bara di negara-negara maju akan melampaui kenaikan penggunaan di negara-negara berkembang. Menurut IEA, sektor kelistrikan Cina masih sepertiga dari total konsumsi batu bara di seluruh dunia, sehingga transisi energi Cina sangat penting untuk tren penggunaan batu bara global.
Laporan organisasi-organisasi non-profit tersebut mengatakan meski pembangunan kapasitas batu bara Cina tahun lalu tembus rekor, tapi izin pembangunan turun ke tingkat terendah dalam dua tahun sebelumnya.
Proposal pembangunan pabrik batu bara baru di sejumlah negara di Asia Tenggara seperti Indonesia mengalami penurunan. Laporan itu mengatakan hal ini dipicu berbagai kesepakatan dan janji yang dilakukan Indonesia, Malaysia, Filipina dan Vietnam untuk menghentikan penggunaan batu bara.
Laporan itu menyoroti Jepang dan Korea Selatan yang mempromosikan teknologi batu bara rendah karbon yang meragukan. Laporan itu memperingatkan teknologi-teknologi semacam itu mahal dan kemungkinan tidak akan memangkas banyak emisi yang dibutuhkan untuk stabilitas iklim.
Salah satu teknologi yang dimaksud adalah co-firing pembangkit listrik tenaga batu bara dengan amonia. Mengganti sebagian batu bara dengan amonia dapat menurunkan emisi, tapi emisi amonia tergantung bagaimana amonia itu diproduksi. Selain itu, emisi karbon dioksida yang dihasilkan pembangkit listrik co-firing amonia rendah karbon tetap lebih banyak dari pembangkit listrik teknologi lain.
Dalam laporan mereka, organisasi-organisasi itu juga menyoroti ketidakpastian komitmen batu bara Amerika Serikat setelah Donald Trump kembali menjabat sebagai presiden. Namun, mereka menunjukkan lebih banyak pembangkit listrik tenaga batu bara yang ditutup selama masa jabatan pertama Trump dibandingkan dengan masa jabatan pendahulunya, Barack Obama, atau penggantinya, Joe Biden.
“Masa jabatan pertama Trump menunjukkan sulitnya menangkal menurunnya kelayakan ekonomi dari pembangkit listrik tenaga batubara di AS, ditambah dengan usia yang sudah tua dari pembangkit-pembangkit listrik tenaga batubara di negara tersebut," demikian laporan tersebut.