REPUBLIKA.CO.ID, WARSAWA – Uni Eropa kembali terpecah soal kebijakan iklim. Dalam pertemuan para menteri lingkungan di Warsawa, Polandia, Selasa (29/4/2025), sejumlah negara menolak target baru yang diusulkan Komisi Eropa yaitu memangkas emisi karbon hingga 90 persen pada 2040.
Denmark, Belanda, dan Slovenia termasuk negara yang mendukung target ambisius tersebut. Namun, Italia dan Ceko termasuk yang menolak, dengan alasan potensi kerugian bagi sektor manufaktur yang tengah terpukul akibat tarif Amerika Serikat dan banjir impor murah.
“Saat ini kami tidak mendukungnya, karena dampaknya pada industri berat,” kata Menteri Lingkungan Ceko Petr Hladík, Selasa (29/4/2025).
Eropa menjadi kawasan yang mengalami pemanasan tercepat di dunia. Perubahan iklim telah memperparah kekeringan dan cuaca ekstrem. Namun, banyak pemerintah masih lebih fokus pada menjaga daya saing industri dan menekan biaya transisi energi.
Negosiasi iklim di Uni Eropa kerap menemui jalan buntu, terutama karena perbedaan kepentingan antara negara kaya dan miskin. Polandia, misalnya, masih sangat bergantung pada batu bara dan menolak target tinggi karena alasan biaya.
Menteri Lingkungan Estonia Andres Sutt mengatakan, negara-negara Baltik memperkirakan bisa memangkas emisi hingga 80 persen pada 2040. Namun sisanya bergantung pada kecepatan adopsi teknologi penyerapan karbon (CCS), khususnya di sektor seperti semen.
“Apakah itu akan terjadi? Saya percaya pada inovasi dan kemajuan teknologi. Tapi sebelum benar-benar berkomitmen, fleksibilitas tetap dibutuhkan,” ujarnya.
Menanggapi resistensi sejumlah negara, Komisi Eropa mempertimbangkan opsi pelonggaran, termasuk memasukkan kredit karbon ke dalam perhitungan target. Skema ini berisiko melemahkan tekanan pada industri untuk menurunkan emisi langsung.
Pemerintah Jerman mendukung gagasan tersebut, namun mengusulkan batas maksimal kredit karbon hanya tiga persen dari target 90 persen. Prancis juga menyatakan minat, asalkan kredit karbon internasional terbukti benar-benar berdampak pada pengurangan emisi.