Rabu 14 May 2025 13:05 WIB

Panas Ekstrem Akibat Krisis Iklim Ancam Kesehatan Ibu Hamil

Selain kenaikan suhu, ibu hamil juga berhadapan dengan kualitas udara yang buruk.

Rep: Lintar Satria / Red: Satria K Yudha
Ibu hamil (Ilustrasi).
Foto: Pixabay
Ibu hamil (Ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Risiko paparan panas ekstrem bagi ibu hamil di Indonesia meningkat drastis akibat krisis iklim. Analisis terbaru Climate Central menunjukkan pada periode 2020–2024, rata-rata terdapat 44 hari dengan panas ekstrem yang berbahaya bagi kehamilan setiap tahunnya.

Dari jumlah tersebut, 41 hari atau sekitar 93 persen disebabkan dampak krisis iklim. Paparan suhu tinggi selama kehamilan berkaitan dengan komplikasi seperti hipertensi, diabetes gestasional, morbiditas ibu, rawat inap, hingga kelahiran mati dan prematur.

Dalam laporan terbarunya bertajuk “Climate Change Increasing Pregnancy Risks Around The World Due to Extreme Heat,” Climate Central mengatakan seluruh negara yang dianalisis, termasuk Indonesia, mengalami peningkatan jumlah hari dengan panas ekstrem. Pemanasan global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak, dan gas ini berisiko bagi kehamilan.

Hari dengan panas ekstrem adalah ketika suhu maksimum melebihi ambang 95 persen dari suhu historis lokal—ambang yang dikaitkan dengan peningkatan risiko kelahiran prematur. Kota-kota di Indonesia menunjukkan dampak yang sangat signifikan.

Batam mencatat rata-rata tahunan 46 dari 47 hari dengan panas ekstrem yang berisiko bagi kehamilan.Kota-kota lain seperti Lampung, Bogor, Bekasi, Cilacap, dan Depok juga mencatat rata-rata lebih dari 90 persen peningkatan jumlah hari dengan suhu tinggi akibat krisis iklim.

Sementara Jakarta mengalami peningkatan 79 persen hari dengan panas ekstrem —yakni 19 dari 24 hari, disebabkan oleh krisis iklim.

“Cuaca panas ekstrem kini menjadi salah satu ancaman paling mendesak bagi ibu hamil di seluruh dunia, khususnya di daerah dengan akses terbatas ke layanan kesehatan," kata dokter spesialis kesehatan perempuan dan pakar dampak perubahan iklim terhadap kesehatan Bruce Bekkar, seperti dikutip dari pernyataan Climate Central, Rabu (14/5/2025).

Bekkar mengatakan mengurangi emisi bahan bakar fosil tidak hanya penting bagi lingkungan, tetapi juga penting untuk melindungi ibu dan bayi yang rentan. Climate Central mencatat selama ini, selain kenaikan suhu, ibu hamil juga berhadapan dengan kualitas udara yang buruk.

Partikulat halus (PM2,5), yang berasal dari asap kendaraan, kebakaran hutan, dan pembakaran bahan bakar fosil, juga berbahaya bagi ibu hamil. PM 2,5 dikaitkan dengan peningkatan stres mental, hipertensi kehamilan, dan komplikasi lain pada ibu hamil.

Panas ekstrem turut memperparah kualitas udara yang buruk ini. Wakil Presiden Bidang Sains Climate Central Kristina Dahl mengatakan satu hari dengan suhu panas ekstrem dapat meningkatkan risiko komplikasi kehamilan secara signifikan.

“Perubahan iklim memperbanyak hari dengan panas ekstrem dan mempersempit peluang kehamilan sehat, terutama di wilayah dengan akses layanan kesehatan yang terbatas. Jika kita tidak menghentikan pembakaran bahan bakar fosil, dampaknya terhadap ibu dan bayi akan terus memburuk," kata Dahl.

Secara global, dalam lima tahun terakhir, perubahan iklim melipatgandakan jumlah hari dengan suhu tinggi yang berisiko selama kehamilan di hampir 90 persen negara dan 63 persen kota di dunia, dibandingkan kondisi tanpa krisis iklim.

Selama lima tahun terakhir, peningkatan terbesar jumlah hari dengan panas ekstrem ini terutama terjadi di wilayah berkembang dengan akses layanan kesehatan yang terbatas — terutama di Karibia, dan sebagian Amerika Tengah dan Selatan, Kepulauan Pasifik, Asia Tenggara, dan Afrika sub-Sahara, sehingga lebih berisiko bagi ibu hamil. Wilayah-wilayah tersebut juga termasuk daerah paling rentan terdampak krisis iklim. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement