Kamis 22 May 2025 15:16 WIB

Suhu Bumi Tembus Ambang 1,5 Derajat Celsius Selama Hampir Dua Tahun

Lemahnya kebijakan iklim telah memicu rekor suhu panas.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Seorang warga Cina menggunakan masker muka dan payung di tengah cuaca panas, di Beijing, Ahad (16/6/2024).
Foto: AP Photo/Andy Wong
Seorang warga Cina menggunakan masker muka dan payung di tengah cuaca panas, di Beijing, Ahad (16/6/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON — Suhu rata-rata Bumi melampaui ambang batas pemanasan kritis 1,5 derajat Celsius selama lebih dari 21 dari 22 bulan terakhir. Kondisi ini menandai percepatan krisis iklim akibat aktivitas manusia yang terus mendorong pemanasan global.

Padahal, Perjanjian Paris 2015 menetapkan target untuk menahan kenaikan suhu global di bawah 2 derajat Celsius dan sebisa mungkin di bawah 1,5 derajat. Namun, ketergantungan dunia pada bahan bakar fosil dan lemahnya kebijakan iklim telah memicu rekor suhu panas jika dibandingkan dengan tingkat pra-industri.

Data Copernicus Climate Change Service (C3S) menunjukkan bahwa Juli 2023 menjadi bulan pertama dalam catatan sejarah ketika suhu permukaan rata-rata global melampaui 1,5 derajat Celsius, dengan anomali mencapai 1,52 derajat.

Sejak Juli 2023 hingga April 2025, ambang 1,5 derajat Celsius dilampaui hampir setiap bulan, kecuali Juli 2024 yang mencatat anomali 1,48 derajat Celsius. Dalam rentang waktu itu, anomali bulanan berkisar antara 1,5 hingga 1,78 derajat.

“Selama dua tahun terakhir, kita telah melihat banyak rekor baru yang ditetapkan untuk suhu rata-rata global, dan secara global, April 2025 melanjutkan urutan panjang bulan di atas 1,5 derajat Celsius di atas tingkat pra-industri,” kata ilmuwan iklim C3S, Rebecca Emerton, dikutip dari Anadolu Agency, Rabu (21/5/2025).

Emerton menekankan bahwa suhu yang melampaui 1,5 derajat selama satu atau dua tahun belum berarti target Perjanjian Paris resmi dilanggar.

Menurut Copernicus, 2024 adalah tahun terpanas yang pernah tercatat sekaligus tahun kalender pertama dengan suhu rata-rata global mencapai 1,51 derajat Celsius di atas level pra-industri.

“Kita perlu melihat anomali suhu lebih dari 1,5 derajat Celsius yang dirata-ratakan selama setidaknya dua dekade (untuk melanggar target perjanjian). Berdasarkan tingkat pemanasan saat ini, kita kemungkinan akan melampaui target ini pada tahun 2030-an,” ujar Emerton.

Ia mengingatkan, setiap fraksi derajat pemanasan yang dapat dihindari tetap berpengaruh besar. “Kita harus berusaha melakukan sebanyak yang kita bisa untuk membatasi pemanasan yang sedang berlangsung,” katanya.

Peningkatan suhu global yang konsisten memunculkan kekhawatiran baru soal masa depan upaya iklim internasional. Terutama ketika sejumlah negara seperti Amerika Serikat sempat menarik diri dari Perjanjian Paris dan mengadopsi kebijakan pro-fosil di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump. Rencana pemangkasan anggaran untuk lembaga sains iklim juga sempat menimbulkan kekhawatiran global.

Direktur Jenderal Pusat Prakiraan Cuaca Jangka Menengah Eropa (ECMWF), Florence Rabier, menegaskan pentingnya data iklim berkualitas tinggi bagi pengambilan keputusan pemerintah dalam menghadapi krisis iklim.

ECMWF, yang menjalankan layanan C3S dan Copernicus Atmosphere Monitoring Service untuk Komisi Eropa, didukung oleh 35 negara anggota dan mitra kerja sama.

“Prakiraan cuaca jangka menengah 3–15 hari sangat penting untuk perencanaan seputar peristiwa cuaca ekstrem seperti badai. Cuaca tidak mengenal batas, dan untuk memprediksinya secara akurat di satu wilayah, kita membutuhkan data dari seluruh dunia,” kata Rabier.

Prakiraan ini bergantung pada satelit, observasi berbasis darat, balon cuaca, dan stasiun sinoptik, sebuah sistem global yang saling terhubung. Rabier menyerukan kerja sama ilmiah yang lebih erat dengan AS.

“Kami ingin membangun hubungan yang sangat berharga dengan banyak mitra Amerika kami untuk lebih meningkatkan kualitas prediksi cuaca numerik,  terutama dalam jangka menengah, yang sangat penting untuk melindungi nyawa dan properti,” ujarnya.

Ia memperingatkan bahwa setiap celah dalam sistem pemantauan Bumi akan berdampak jangka panjang. “Reperkusinya tidak hanya untuk saat ini, tapi juga bagi generasi mendatang,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement