Kamis 28 Aug 2025 12:21 WIB

Indonesia Desak Negara Maju Penuhi Janji Pendanaan Iklim

Pendanaan iklim jadi salah satu fokus delegasi Indonesia dalam COP30.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono saat menghadiri forum BRICS High Level Meeting on Climate Change and Sustainable Development yang digelar di Brasil, Kamis (29/5/2025).
Foto: KLH
Wakil Menteri Lingkungan Hidup Diaz Hendropriyono saat menghadiri forum BRICS High Level Meeting on Climate Change and Sustainable Development yang digelar di Brasil, Kamis (29/5/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Lingkungan Hidup (Wamen LH) Diaz Hendropriyono menegaskan Indonesia akan mendesak negara maju untuk menepati janji pendanaan iklim. Hal itu akan menjadi salah satu fokus delegasi Indonesia pada Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, November 2025.

“Isu pendanaan iklim ini, awalnya di Copenhagen Accord, negara maju janji memberikan bantuan kepada negara berkembang 100 juta dolar AS per tahun, tapi menurut UNFCCC belum terealisasi. Lalu New Collective Quantified Goals dari target 1,3 triliun dolar baru disepakati 300 miliar dolar,” kata Diaz dalam Rapat Kick-Off Persiapan Partisipasi Delegasi Indonesia dalam UNFCCC COP30/CMP30/CMA7, Rabu (28/8/2025).

Baca Juga

Diaz menilai, negara-negara maju banyak membuat janji tanpa realisasi. Karena itu, Indonesia akan mendorong agar komitmen tersebut dipenuhi.

Kementerian Lingkungan Hidup menjelaskan rapat persiapan COP30 merupakan langkah awal koordinasi lintas kementerian/lembaga, mitra pembangunan, serta lembaga internasional menjelang forum iklim terbesar dunia.

COP mempertemukan hampir seluruh negara untuk membahas strategi menghadapi perubahan iklim dengan target menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celcius.

Selain pendanaan, Diaz menyebut delegasi Indonesia akan memanfaatkan COP30 sebagai arena memperkuat diplomasi karbon. Tahun ini, Paviliun Indonesia tak hanya menyelenggarakan seminar, tetapi juga menjadi tempat memperluas perdagangan karbon lintas sektor.

Sejumlah kerja sama yang sedang dijajaki antara lain potensi pembelian 12 juta ton karbon dioksida ekuivalen oleh Norwegia hingga 2035, peluang kerja sama dengan Jepang dan Korea, serta pengembangan Renewable Energy Certificate (REC) oleh PLN. Indonesia juga mendorong perluasan perdagangan karbon melalui Mutual Recognition Agreements (MRA) dengan standar internasional seperti Gold Standard (GS) dan Verra.

Namun, Diaz mengingatkan keberhasilan diplomasi membutuhkan dukungan bersama. “Kita selalu perlu dukungan dari bapak dan ibu, karena Kementerian Lingkungan Hidup tidak punya pakar di semua bidang. Ada 20-an working group kita perlu mempersiapkan lead negotiator yang paham betul terkait kertas posisi Indonesia,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement