Rabu 22 Nov 2023 14:59 WIB

Suara Lokal Aksi Mitigasi Iklim Masih Belum Didengar

Kelompok rentan juga dinilai masih belum dilibatkan terkait kebijakan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Suara untuk aksi iklim yang dipimpin secara lokasl belum didengar.
Foto: www.freepik.com
Suara untuk aksi iklim yang dipimpin secara lokasl belum didengar.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koalisi sipil yang tergabung dalam aliansi Voices for Just Climate Action (Suara Untuk Aksi Iklim yang Berkeadilan) menilai bahwa hingga saat ini suara lokal untuk aksi mitigasi iklim masih belum didengar. Kelompok rentan seperti komunitas akar rumput, petani, nelayan, masyarakat adat, kelompok anak muda, dan kelompok perempuan, juga belum dilibatkan secara aktif dalam pengambilan keputusan terkait kebijakan iklim di forum nasional, regional, dan global.

“Aliansi menyoroti suara untuk aksi iklim yang dipimpin secara lokal belum didengar dan masih banyak tantangan untuk mendorong keterlibatan bermakna dari kelompok rentan. Sebagai contoh hanya 35 persen partisipasi dari perempuan dalam delegasi pada COP 27,” kata Country Engagement Manager Yayasan Humanis (afiliasi Hivos), Arti Indallah, dalam diskusi media di Cikini, Jakarta, Selasa (21/11/2023).

Baca Juga

Selain itu, masih terbatas juga keterlibatan perwakilan kelompok rentan terutama yang tidak terwakili dalam kelompok konstituensi/kaukus seperti kelompok disabilitas dalam proses negosiasi iklim PBB. Menurut Arti, dari waktu ke waktu, biaya yang harus dikeluarkan untuk menghadiri konferensi seperti forum regional maupun COP juga semakin meningkat dan menjadi tidak dapat dicapai oleh koalisi sipil.

“Hal ini secara signifikan juga berkontribusi terhadap tersingkirnya keterlibatan CSO dan kelompok rentan yang berada di garis depan perubahan iklim untuk dapat berpartisipasi aktif dalam ruang pengambilan keputusan. Selain itu juga terbatasnya akses COP 28 yang dapat digunakan untuk pertemuan offline terutama untuk kelompok dari negara selatan berkurang secara signifikan,” kata Arti.

Renny I Suruan, pendamping komunitas masyarakat adat di Kampung Resye dan Womom, Distrik Tobouw Kabupaten Tambrauw, Papua Barat Daya, meyakini bahwa perjuangan masyarakat adat melawan dampak perubahan iklim melalui kearifan dan budaya lokal masyarakat adat merupakan strategi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim.

Pengelolaan sumber daya alam potensial di bidang jasa lingkungan dan Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) serta perlindungan wilayah dan ruang kelola masyarakat adat yang inklusif, menjadi alternatif solusi iklim berbasis kearifan lokal yang didorong bersama-sama.

“Kami meyakini, pengelolaan hutan berdasarkan kearifan lokal, kesetaraan gender serta penguatan kapasitas kaum marginal yang dilakukan secara inklusif, merupakan solusi iklim yang efektif di akar rumput sehingga perlu menjadi suara yang didengar oleh banyak orang,” tegas Renny.

Renny juga menekankan pentingnya memanfaatkan kekuatan keberagaman budaya dan kearifan lokal untuk menciptakan perubahan sistem yang diperlukan dalam mengatasi masalah iklim dan krisis keanekaragaman hayati. 

“Visi 2100 Papua mengamanatkan pembangunan berkelanjutan berbasis budaya dan ekologi dimana melalui komitmen bersama pemerintah daerah, masyarakat sipil, akademisi, masyarakat adat mendorong papua cerdas, papua sehat, papua mandiri berbasis kewilayahan adat. Saat ini dengan perubahan iklim yang terjadi di seluruh belahan bumi dan masyarakat adat menjadi salah satu subjek yang terdampak dengan local genius mereka bertahan dan tangguh dalam praktek adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” tegas Renny.

Menjelang negosiasi iklim PBB atau Conference of Parties ke-28 (COP 28) yang akan dilaksanakan di Dubai pada tanggal 30 November hingga 12 Desember 2023, kita akan melihat perbincangan penting seputar apa yang disebut dengan global stocktake (GST) yang pertama setelah Perjanjian Paris, di mana negara-negara akan mengevaluasi diri mereka sendiri dan kemajuan kolektif terhadap tujuan yang telah mereka tetapkan.

Arti menilai, proses GST akan menjadi titik penting untuk refleksi dan pengambilan tindakan akselerasi signifikan terkait aksi iklim baik di tingkat global maupun di Indonesia. Terutama, berdasarkan laporan sintesis GST yang dikeluarkan pada September 2023, komunitas global menyadari implementasi dari Perjanjian Paris sangat jauh dari target dan menunjukkan kurangnya kemajuan negara-negara dalam mengurangi tingkat level emisi dan beradaptasi terhadap perubahan iklim.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement