REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam hal perubahan iklim global, penggembalaan ternak dapat menjadi berkah atau kutukan, demikian menurut sebuah studi baru. Dipublikasikan di jurnal Nature Climate Change, studi ini juga menawarkan petunjuk tentang bagaimana membedakannya.
Menurut studi, jika dikelola dengan baik, penggembalaan ternak sebenarnya dapat meningkatkan jumlah karbon dari udara yang tersimpan di dalam tanah dan diserap dalam jangka panjang. Namun, jika terlalu banyak penggembalaan, erosi tanah dapat terjadi, dan dampak akhirnya adalah menyebabkan lebih banyak kehilangan karbon, sehingga lahan menjadi sumber karbon bersih, bukannya penyerap karbon. Dan penelitian tersebut menemukan bahwa kasus yang kedua lebih umum terjadi di seluruh dunia saat ini.
Penelitian ini memberikan cara untuk menentukan titik kritis di antara keduanya, untuk lahan penggembalaan di zona iklim dan jenis tanah tertentu. Penelitian ini juga memberikan perkiraan jumlah total karbon yang telah hilang selama beberapa dekade terakhir akibat penggembalaan ternak, dan berapa banyak yang dapat dihilangkan dari atmosfer jika manajemen optimalisasi penggembalaan diterapkan.
Studi tersebut dilakukan oleh Cesar Tesser, asisten profesor teknik sipil dan lingkungan di MIT; Shuai Ren, mahasiswa PhD di Chinese Academy of Sciences; dan empat ilmuwan lainnya.
"Hal ini telah menjadi perdebatan dalam literatur ilmiah sejak lama. Secara umum, penggembalaan mengurangi cadangan karbon tanah, namun yang mengejutkan, terkadang penggembalaan justru meningkatkan cadangan karbon tanah, dan inilah yang membingungkan,” kata Terrer seperti dilansir Phys, Senin (18/3/2024).
Terrer menjelaskan bahwa penggembalaan dapat menstimulasi pertumbuhan vegetasi dengan merangsang keterbatasan sumber daya seperti cahaya dan nutrisi, sehingga meningkatkan input karbon akar ke dalam tanah, di mana karbon dapat bertahan di sana selama berabad-abad atau ribuan tahun
Namun, hal ini hanya berhasil pada titik tertentu, demikian temuan tim peneliti setelah melakukan analisis cermat terhadap 1.473 pengamatan karbon tanah dari berbagai studi penggembalaan di berbagai lokasi di seluruh dunia.
"Ketika Anda melewati ambang batas intensitas penggembalaan, atau jumlah hewan yang merumput di sana, saat itulah Anda mulai melihat semacam titik kritis atau penurunan jumlah karbon di dalam tanah," jelas Terrer.
Berbagai penelitian yang dikumpulkan oleh tim ini, pada dasarnya menggunakan metodologi yang sama, yaitu memagari sebagian lahan agar tidak dapat diakses oleh ternak. Kemudian setelah beberapa waktu mengambil sampel tanah dari dalam area kandang, dan dari area terdekat yang telah digembalakan, dan membandingkan kandungan senyawa karbonnya.
Bersamaan dengan data karbon tanah untuk plot kontrol dan yang digembalakan, peneliti juga mengumpulkan banyak informasi lain, seperti suhu rata-rata tahunan di lokasi tersebut, curah hujan rata-rata tahunan, biomassa tanaman, dan sifat-sifat tanah, seperti pH dan kandungan nitrogen. Lalu memperkirakan intensitas penggembalaan yakni biomassa di atas permukaan tanah yang dikonsumsi, karena ternyata itu adalah parameter kunci.
Dengan model kecerdasan buatan, para penulis mengukur pentingnya masing-masing parameter ini, yaitu faktor pendorong intensitas –suhu, curah hujan, sifat tanah— dalam memodulasi tanda (positif atau negatif) dan besarnya dampak penggembalaan terhadap cadangan karbon tanah.
"Menariknya, kami menemukan bahwa cadangan karbon tanah meningkat dan kemudian menurun seiring dengan intensitas penggembalaan, bukan respon linier seperti yang diharapkan," kata Ren.
Setelah mengembangkan model melalui metode AI dan memvalidasinya, termasuk dengan membandingkan prediksinya dengan prediksi berdasarkan prinsip-prinsip fisika yang mendasarinya, mereka kemudian dapat menerapkan model tersebut untuk memperkirakan dampak di masa lalu dan masa depan.
"Dalam kasus ini, kami menggunakan model tersebut untuk menghitung kehilangan historis cadangan karbon tanah akibat penggembalaan. Dan kami menemukan bahwa 46 miliar metrik ton karbon tanah, hingga kedalaman satu meter, telah hilang dalam beberapa dekade terakhir akibat penggembalaan,” kata Terrer.
Sebagai perbandingan, jumlah total emisi gas rumah kaca per tahun dari semua bahan bakar fosil adalah sekitar 10 miliar metrik ton, sehingga kehilangan akibat penggembalaan setara dengan lebih dari empat tahun emisi fosil dunia jika digabungkan.
Dengan menggunakan data kondisi lingkungan setempat, tim menghasilkan peta global beresolusi tinggi mengenai intensitas penggembalaan yang optimal dan ambang batas intensitas di mana karbon mulai berkurang dengan sangat cepat. Peta-peta ini diharapkan dapat menjadi tolok ukur penting untuk mengevaluasi praktik penggembalaan yang ada dan memberikan panduan kepada petani lokal tentang cara mengelola lahan penggembalaan mereka secara efektif.
Kemudian, dengan menggunakan peta tersebut, tim memperkirakan berapa banyak karbon yang dapat ditangkap jika semua lahan penggembalaan dibatasi pada intensitas penggembalaan optimalnya.
“Saat ini kami menemukan sekitar 20 persen dari seluruh padang rumput telah melewati ambang batas, sehingga menyebabkan hilangnya karbon dalam jumlah besar. Namun, mereka menemukan bahwa pada tingkat optimal, lahan penggembalaan global akan menyerap 63 miliar metrik ton karbon,” jelas Ren.