REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA– Selama 50 tahun ke depan, manusia akan semakin merambah habitat satwa liar di lebih dari separuh daratan di bumi, menurut penelitian para ilmuwan. Hal ini dapat mengancam keanekaragaman hayati dan meningkatkan kemungkinan terjadinya pandemi di masa depan.
Dikutip dari the Guardian, manusia telah mengubah atau menempati antara 70 persen hingga 75 persen daratan dunia. Penelitian yang dipublikasikan di Science Advances pada pekan lalu ini menemukan bahwa tumpang tindih antara populasi manusia dan satwa liar diperkirakan akan meningkat di 57 persen daratan bumi pada 2070, didorong oleh pertumbuhan populasi manusia.
“Anda memiliki tempat-tempat seperti hutan di mana hampir tidak ada orang, di mana kita akan mulai melihat lebih banyak kehadiran dan aktivitas manusia, dan interaksi dengan satwa liar,” kata Neil Carter, peneliti utama studi ini dan seorang profesor lingkungan dan keberlanjutan di University of Michigan, Amerika Serikat.
“Manusia meningkatkan tekanan dan dampak negatifnya terhadap spesies, yang merupakan sesuatu yang telah kita lihat selama bertahun-tahun. Hal ini merupakan bagian dari penyebab krisis hilangnya keanekaragaman hayati yang kita alami,” katanya.
Ketika manusia dan hewan berbagi lanskap yang semakin padat, tumpang tindih yang lebih besar dapat mengakibatkan potensi penularan penyakit yang lebih tinggi, hilangnya keanekaragaman hayati, hewan dibunuh oleh manusia, dan satwa liar memakan ternak dan tanaman, kata para peneliti.
Hilangnya keanekaragaman hayati merupakan penyebab utama wabah penyakit menular. Sekitar 75 persen penyakit yang muncul pada manusia bersifat zoonosis, yang berarti dapat ditularkan dari hewan ke manusia, dan banyak penyakit yang menjadi perhatian otoritas kesehatan global - termasuk Covid-19, cacar air, flu burung, dan flu babi - kemungkinan besar berasal dari satwa liar.
"Memahami kondisi yang mana manusia dan satwa liar akan saling tumpang tindih adalah kunci untuk mencegah percepatan penyebaran virus dari satwa liar,"kata Kim Gruetzmacher, seorang dokter hewan konservasi satwa liar dan peneliti, yang tidak terlibat dalam penelitian ini.
Menurut dia, sebagian besar hingga 75 persen dari penyakit menular yang muncul (yang dapat menyebabkan epidemi dan pandemi) berasal dari hewan, yang sebagian besar berasal dari satwa liar,” kata Gruetzmacher. “Bukan satwa liar itu sendiri yang menimbulkan risiko, tetapi perilaku kita dan kontak spesifik dengannya.”
Untuk memperkirakan tumpang tindih antara manusia dan satwa liar di masa depan, para peneliti di University of Michigan membandingkan perkiraan dimana manusia akan mendiami lahan dengan wilayah distribusi spasial lebih dari 22.000 spesies.
Mereka menemukan bahwa perluasan tumpang tindih antara manusia dan satwa akan paling banyak terjadi di wilayah-wilayah yang kepadatan populasi manusianya sudah tinggi, seperti India dan Cina. Kawasan pertanian dan hutan di Afrika dan Amerika Selatan juga akan mengalami peningkatan tumpang tindih yang substansial.