Jumat 24 Nov 2023 09:30 WIB

Studi: Perubahan Iklim Buat Remaja Kian Merasa Cemas, Bisa Turunkan Kualitas Hidupnya

Generasi muda dinilai paling rentan terhadap dampak-dampak perubahan iklim.

Rep: Gumanti Awaliyah/ Red: Nora Azizah
Studi sebut banyak generasi muda merasa pesimistis terhadap masa depannya karena perubahan iklim.
Foto: www.freepik.com
Studi sebut banyak generasi muda merasa pesimistis terhadap masa depannya karena perubahan iklim.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Perubahan iklim mengacu pada perubahan jangka panjang dalam pola iklim bumi, terutama didorong oleh aktivitas manusia, seperti pembakaran bahan bakar fosil dan penggundulan hutan. Peningkatan emisi gas rumah kaca, terutama karbon dioksida, menyebabkan pemanasan global dan berbagai dampak termasuk kejadian cuaca yang lebih sering dan lebih parah, gangguan pada ekosistem, dan pergeseran pola curah hujan.

Jika tidak ada intervensi dan aksi serius, maka dampak perubahan iklim bisa semakin buruk di masa depan. Sebuah studi terbaru menemukan bahwa generasi muda, yang termasuk kelompok paling rentan terhadap dampak-dampak perubahan iklim, sering kali merasa putus asa dan pesimis terhadap masa depannya.

Baca Juga

Penulis studi Marlis C Wullenkord dan Maria Ojala mencoba mengeksplorasi hubungan antara berbagai jenis kekhawatiran tentang perubahan iklim dan indikator kesejahteraan subjektif. Para peneliti membedakan antara kekhawatiran terhadap diri sendiri dan orang terdekat (kekhawatiran mikro) dan kekhawatiran terhadap dunia dan masyarakat luas (kekhawatiran makro).

Para peneliti berhipotesis bahwa kedua jenis kekhawatiran tersebut akan berkorelasi dengan kepuasan hidup yang lebih rendah dan perilaku pro-lingkungan yang lebih tinggi. Mereka juga menyarankan bahwa faktor psikologis, seperti strategi penanggulangan, dapat mempengaruhi hubungan ini. Untuk mengeksplorasi hal ini, mereka melakukan dua survei.

Survei pertama, dilakukan pada tahun 2010, melibatkan 321 siswa sekolah menengah di Swedia. Mereka menyelesaikan penilaian yang mengukur kekhawatiran iklim, optimisme dan pesimisme iklim, strategi penanggulangan, dan perilaku pro-lingkungan. Selain itu, mereka juga dinilai untuk mengetahui pengaruh secara umum (menggunakan Skala Depresi Anak) dan kepuasan hidup.

Survei kedua, dilakukan antara tahun 2019 dan 2020, melibatkan 480 siswa sekolah menengah Swedia yang berpartisipasi dalam studi yang lebih luas tentang pengalaman remaja dengan perubahan iklim dan pilihan makanan. Mereka menyelesaikan penilaian yang sama seperti pada survei pertama, dengan fokus pada kekhawatiran iklim, optimisme dan pesimisme iklim, penanganan, dan perilaku pro-lingkungan.

Hasil survei pertama menegaskan bahwa individu dengan tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi terhadap perubahan iklim cenderung melaporkan kepuasan hidup yang lebih rendah dan lebih banyak mengalami perasaan negatif secara umum. Hubungan ini lebih terlihat pada kekhawatiran mikro daripada kekhawatiran makro. Kekhawatiran akan perubahan iklim juga terkait dengan meningkatnya tingkat pesimisme iklim.

Mereka yang terlibat dalam coping yang berfokus pada makna (misalnya, 'Saya percaya pada kemanusiaan; kita dapat menyelesaikan semua jenis masalah') menunjukkan korelasi yang lebih lemah antara kekhawatiran mikro dan pesimisme iklim. Para penulis studi percaya bahwa strategi penanggulangan yang berfokus pada makna membantu mencegah kekhawatiran mikro tentang perubahan iklim berubah menjadi pesimisme iklim.

“Percaya pada kemampuan manusia untuk memecahkan masalah memungkinkan individu untuk tetap optimis tentang perkembangan iklim di masa depan. Peserta yang mengungkapkan tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi tentang perubahan iklim juga lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku pro-lingkungan,” kata Wullenkord seperti dilansir Psypost, Jumat (24/11/2023).

Survei kedua menguatkan temuan survei pertama, dengan mencatat adanya kekhawatiran yang lebih besar terhadap kekhawatiran iklim pada penelitian selanjutnya. Temuan ini menunjukkan bahwa cara orang mengatasi emosi mereka memengaruhi kesehatan mental dan perilaku pro-lingkungan.

"Namun, perlu dicatat bahwa kedua studi tersebut dilakukan pada siswa sekolah menengah Swedia, individu dari negara di mana topik perubahan iklim lebih banyak dibicarakan dan dibahas daripada di banyak negara lain di dunia. Hasil penelitian pada kelompok demografis lain dan individu dari budaya lain mungkin tidak memberikan hasil yang sama," kata Maria Ojala.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement