REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Krisis iklim tidak lagi soal ancaman masa depan, melainkan kenyataan yang sudah dirasakan masyarakat di seluruh Indonesia. Pemuda dari 33 provinsi menyuarakan keadilan iklim serta menuntut pemerintah dan pemimpin dunia mengambil langkah lebih berani di panggung COP30.
Tuntutan itu dirangkum dalam “Indonesia Climate Mandate: A National Youth Demand Forum,” bagian dari Local Conference of Youth and Children (LCOY) Indonesia 2025. Forum ini mengonsolidasikan suara pemuda akar rumput agar masuk ke meja perundingan iklim internasional.
“Kami tidak datang hanya untuk didengar, tapi untuk memastikan perubahan terjadi. Tidak ada keadilan iklim tanpa keadilan sosial,” kata Pejabat Program LCOY Indonesia 2025, Pinkan Astina, Senin (25/8/2025).
Suara lantang itu lahir dari pengalaman nyata. Delegasi muda membawa cerita tentang tanah adat Papua yang tergerus proyek pembangunan, desa-desa pesisir yang terendam rob, hingga petani muda yang berjuang dengan pertanian adaptif.
“Tidak semua orang punya pilihan untuk beradaptasi. Saya, seorang perempuan adat dari Papua, hidup bergantung pada tanah. Bagi kami, pilihannya hanya dua, yaitu melawan atau mati,” kata Gispa, delegasi dari Papua Barat.
Draf deklarasi berisi tuntutan di isu iklim, energi, dan keuangan akan dibawa sebagai dokumen resmi delegasi Indonesia ke forum internasional. Perwakilan Kementerian Lingkungan Hidup, Franky Zamzani, menilai suara generasi muda penting untuk memastikan komitmen iklim berjalan adil dan berkelanjutan.
Desakan itu juga bergema di jalanan. Pada Car Free Day Jakarta, Minggu (24/8), ratusan pemuda melakukan aksi damai. Mereka menyerukan pengesahan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi tanah ulayat, sekaligus menegaskan bahwa kebijakan iklim tak boleh meninggalkan kelompok rentan.
“Kami datang untuk memastikan kebijakan iklim tidak meninggalkan siapapun,” ujar Mario, delegasi Papua.