Senin 25 Aug 2025 16:35 WIB

SRN Jadi Instrumen Transparansi Aksi Iklim Indonesia

Indonesia membutuhkan sekitar Rp4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Relawan membawa bibit tanaman mangrove saat kegiatan penanaman mangrove di Taman Mangrove PIK, Jakarta Utara, Senin (22/4/2024).
Foto: Dok Republika
Relawan membawa bibit tanaman mangrove saat kegiatan penanaman mangrove di Taman Mangrove PIK, Jakarta Utara, Senin (22/4/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Penanganan perubahan iklim membutuhkan tata kelola data yang akurat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Untuk itu, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) mengembangkan Sistem Registri Nasional (SRN) Pengendalian Perubahan Iklim sebagai pusat data aksi mitigasi dan adaptasi, termasuk pendanaan dan perdagangan karbon.

Deputi Bidang Pengendalian Perubahan Iklim dan Tata Kelola Nilai Ekonomi Karbon KLHK, Ary Sudijanto, menyebut SRN menjadi instrumen penting untuk memperkuat transparansi sekaligus menarik investasi.

Baca Juga

“Kalau orang mau cari data, mau investasi proyek karbon Indonesia, mau beli karbon Indonesia, kan dia butuh tahu proyek apa, bagaimana mekanismenya. Nah, kita kembangkan lebih baik, bilingual, agar semua data bisa diakses dalam bahasa Indonesia dan Inggris,” kata Ary, Senin (25/8/2025).

Menurutnya, SRN tidak hanya berfungsi sebagai pelaporan, tetapi juga akan dikembangkan menjadi Decision Support System (DSS) yang mampu menganalisis data, memantau capaian, hingga mengidentifikasi peluang perdagangan karbon.

KLHK juga akan mengintegrasikan sistem pelaporan internal dengan aplikasi Aksara milik Bappenas, agar pemerintah daerah cukup melapor satu kali.

“Kalau yang lapor beda-beda, datanya beda, nanti kita bingung mana yang benar. Integrasi ini untuk memudahkan dan menyeragamkan data,” ujar Ary.

Berdasarkan Third Biennial Update Report, Indonesia membutuhkan sekitar Rp4.000 triliun untuk mencapai target penurunan emisi 32,89 persen pada 2030. Dari jumlah itu, APBN hanya mampu menutup kurang dari 20 persen.

“Delapan puluh persen sisanya harus dimobilisasi dari berbagai skema, seperti result-based payment, perdagangan karbon, dan debt swap,” jelasnya.

Indonesia juga tengah menyiapkan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) yang akan disampaikan September mendatang. Dokumen baru ini menggunakan tahun dasar 2019 dengan skenario Current Policy Scenario (CPOS), berbeda dari skema sebelumnya.

“Kami menjamin puncak emisi Indonesia akan terjadi 2030, kecuali sektor energi di 2035-2038. Secara jangka panjang kita tetap bisa capai net zero 2060 atau lebih cepat,” kata Ary.

Sejak diluncurkan pada 2023, Indonesian Carbon Exchange (IDX Carbon) mencatat transaksi hampir Rp78 miliar untuk 1,6 juta ton karbon. Ary menyebut capaian itu masih kecil dibanding kebutuhan, namun menunjukkan pasar karbon domestik mulai aktif.

Untuk memperluas pasar, Indonesia menjalin kerja sama dengan lembaga internasional seperti Gold Standard dan Plan Vivo, serta mekanisme bilateral seperti Joint Crediting Mechanism (JCM) dengan Jepang dan kerja sama energi terbarukan dengan Norwegia.

Ary mencontohkan proyek PLTS terapung senilai 12 juta dolar AS yang sempat tidak layak secara finansial. “Dengan dukungan kredit karbon, gap keekonomian bisa tertutup sehingga proyek menjadi viable,” ujarnya.

Melalui SRN, pemerintah menargetkan setiap aksi iklim berbasis data yang konsisten dan bisa diverifikasi. Langkah ini diharapkan tidak hanya mendukung komitmen global, tetapi juga memastikan kontribusi nyata Indonesia dalam menahan kenaikan suhu bumi di bawah 1,5 derajat Celsius.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement