Rabu 26 Nov 2025 19:35 WIB

Indonesia Siapkan 13 Juta Ton Kredit Karbon, Bidik Dukungan Internasional untuk Rehabilitasi Lahan

Nilai investasi yang diperlukan belum dipetakan sepenuhnya.

Rep: Lintar Satria/ Red: Satria K Yudha
Layar menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional pada awal pembukaan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/1/2025).
Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Ramdan
Layar menampilkan informasi pergerakan perdagangan karbon internasional pada awal pembukaan di Gedung Bursa Efek Indonesia (BEI), Senin (20/1/2025).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Wakil Menteri Kehutanan Rohmat Marzuki menyataka  Indonesia siap memasarkan 13 juta ton kredit karbon dari sektor kehutanan, seiring menguatnya kerangka regulasi dan dukungan politik nasional untuk memperluas kerja sama internasional di pasar karbon. Rohmat mengatakan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Nilai Ekonomi Karbon mempercepat langkah Indonesia memasuki pasar karbon global.

“Kita patut berbangga karena Presiden Prabowo sangat mendukung perpres ini. Ini memungkinkan Indonesia bekerja sama dengan banyak mitra internasional,” katanya di sela Global Carbon Summit Indonesia, Rabu (26/11/2025).

Baca Juga

Rohmat menjelaskan di Pertemuan Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan Indonesia menandatangani nota kesepahaman dengan Integrity Council for the Voluntary Carbon Market (ICVCM). Langkah itu, menurut Rohmat, memperkuat posisi Indonesia dalam skema perdagangan karbon berbasis pasar sukarela.

Ke depan, pemerintah akan memprioritaskan pemanfaatan skema karbon kredit untuk mendukung target rehabilitasi 12 juta hektare lahan kritis, sesuai komitmen Presiden Prabowo yang disampaikan pada KTT PBB. “Kita akan tindaklanjuti untuk menjalin kerja sama internasional agar skema ini dapat membantu rehabilitasi hutan dan lahan kritis,” ujarnya.

Rohmat menyebut Indonesia menawarkan 13 juta ton karbon dioksida ekuivalen dari sektor kehutanan, diikuti potensi dari blue carbon dan transisi energi menuju sumber terbarukan. Meski belum ada nilai transaksi yang disepakati, ia optimistis harga yang ditawarkan akan kompetitif. “Secara pastinya belum, tapi kita yakin harganya -nya cukup tinggi karena kita menjual high integrity carbon,” katanya.

Terkait pendanaan rehabilitasi lahan kritis, Rohmat menegaskan APBN hanya mampu menutup sebagian kebutuhan. Pemerintah akan mengandalkan kontribusi pemerintah daerah, mengingat sekitar 50 persen lahan kritis berada di luar kawasan hutan atau APL (Areal Penggunaan Lain).

“Partisipasi CSR, swasta, dan inisiatif masyarakat juga penting. Skema carbon credit akan menjadi sumber pendanaan internasional yang membantu rehabilitasi,” ujarnya.

Rohmat mengatakan nilai investasi yang diperlukan belum dipetakan sepenuhnya, namun pemerintah fokus memastikan kredit karbon Indonesia terserap pasar internasional. “Kita ingin menarik komitmen internasional untuk membantu rehabilitasi hutan kita yang terbesar ketiga di dunia,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement